Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kamu yang Kuharapkan!

11 Oktober 2017   21:24 Diperbarui: 12 Oktober 2017   08:50 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah harapan...

Saat semua mata tertuju kepadamu karena Nobel Perdamaian itu resmi menghiasi namamu 26 tahun silam, wargamu tumpang gembira atas prestasi dan pengakuan dunia yang luar biasa itu. Gelar terhormat tingkat tinggi bidang kemanusiaan memang cukup langka di dunia, merupakan bukti tingginya perhatianmu dalam isu sosial kemausiaan dan yang pasti adalah tanda kiprah muliamu dalam menuntut terciptanya negeri yang demokratis dari kelompok yang disebut "Junta" yang telah menjarah hak-hak sesama saudaranya di Myanmar.

Itulah Aung San Suu Kyi, sang legenda dan pejuang demokrasi di tanah Burma yang pernah mendapat hukuman tahanan rumah selama 15 tahun.

Kamu berjuang dengan lantang, menjunjung tinggi kesamaan hak sesuai peran dan tanggungjawab seseorang dalam negaranya. Kelembutan sikapmu yang bergandengan dengan jiwa tegasmu demi kebenaran atas apa yang seharusnya berlaku untuk negeri dan rakyatmu. Semua itu telah membuat jagat ini takluk dengan pesonamu.

**

Negerimu kukenal sebagai Tanah Emas, dalam perut bumi tempat kamu dan rakyatmu bermukim, tertanam kekayaan alam yang melimpah. Batu-batu mulia yang keluar dari perut bumi negerimu sungguh membelalak mata, membuat setiap orang yang melihatnya berdecak kagum.

Di suatu pagi, aku berjalan-jalan di lorong-lorong pasar Bukit Kacin, sekadar melihat gemerlapnya batu giok yang dijual bebas bak pedagang buah kemiri di pasar daerah kelahiranku.

Ketika matahari mulai condong di ufuk barat, sejenak kuberhenti di pinggir danau kontroversi, yang pernah direnangi John Yettaw, warga Paman Sam yang nekat berenang menyeberangi danau itu untuk menggapai rumahmu supaya bisa berbual dan bermunajat bersamamu. Sungguh kamu sangat memikat!

**
Tapi kini pujian itu mulai luntur...

Keasrian itu kini bertukar, bumimu berguncang, dipenuhi asap dari gubuk-gubuk milik wargamu di wilayah Rakhine yang "kamu" lihat berbeda warna kulit, hangus terbakar karena ulah serdadumu.

Sungguh sebuah kemusnahan totalitas termasuk jiwa-jiwa yang sekarang ragu menaruh harap untuk hidup layak di saat sisa-sisa makanan kering sangat berharga untuk mengalas perut yang lapar, ketika rimbunan dedaunan menjadi atap pelindung dari panas dan hujan.

Seorang jurnalis, Emma Larkin, ia menulis dalam bukunya "Every thing is broken," karena Emma melihat sisi suramnya hidup di bumi yang dulu bernama Burma. Langit Burma tidak lagi biru karena setiap hari awan hitam menghalangi sinar mentari menerpa bumi.

Kutahu, apa yang terjadi di negaramu bercampur aduk masalah agama, ekonomi, dan sosial. Yang pasti adalah dominasi ras yang oleh dunia mengistilahkan sebagai indigenous superordinant.

Segalanya belumlah terlambat untukmu kembali tampil berbuat seperi kamu yang dulu, menentang ketidakadilan.

Kamulah yang aku dan dunia harapkan untuk berbuat sesuai amanat gelar terhormat yang kamu terima pada tahun 1991 itu.

Berbuat! Jangalah lihat agama, warna kulit, dan sebab mereka sebagai kaum pendatang, tetapi lihatlah orang Rohingnya sebagai saudara secara totalitas.

Sekarang hampir setengah juta wargamu kelaparan di pelariannya. Lihatlah anak kecil yang terisak sedih karena kedua orang tuanya meninggal dunia, dengarlah rintihan seorang ibu muda yang dadanya sesak karena suami dan anaknya menemui ajal dengan cara mengenaskan. Selamilah derita kakek dan nenek tua yang lumpuh terpaksa ditandu untuk mengungsi mencari rasa aman.

Mereka yang kulitnya tidak sama dengan kaum mayoritas di negerimu kini terusir dari negeri sendiri, karena takut dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar dan militan radikal Budha. Kini minoritas Rohingya tersiksa karena hilang tempat tinggal, dalam ketakutan dan sedikit harap, mereka menyeberangi sungai yang deras, tak sedikit yang sanggup menumpang perahu kecil yang sesak menyeberangi lautan ke negara sahabat untuk mencari belas kasih bernama "suaka."

Kini kamu terkesan diam dan tidak berbuat banyak. Berbuatlah wahai pejuang sejati, demi rasa kemanusiaan itu, kamulah orangnya yang paling sesuai mengembalikan segalanya di negerimu, karena tampuk kuasaan kini sudah berada di tanganmu.

Dok.CBC.Ca
Dok.CBC.Ca
Harapan rakyat kecil dari negeri sahabat.

KL: 11102017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun