Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seloto: Desa Santri di Pulau Sumbawa

3 Juli 2017   15:07 Diperbarui: 26 Juli 2017   06:32 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun 1999, Ust. Syihbuddin Syirat mulain menginisiasi berdirinya yayasan pendidikan Al-Muhajirin Satata di atas areal satu hektar tanah untuk madrasah dan pondok pesatren Al-Muhajirin Satata. Keberhasilan itu membuat desa Seloto memiliki dua pondok pesantren yang menjadi basis pendidikan dan dakwah.   

**

Tingginya minat masyarakat untuk mendalami ilmu agama, membuat desa ini dikenal sebagai "Desa Santri."

Saya amati, kebersamaan dan bersatunya masyarakat Seloto dapat dilihat dari bersatunya tempat menunaikan ibadah. Di Seloto  berkembang organisasi Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU) dan juga Nahdhatul Wathan (NW). Tetapi dalam hal ibadah, mereka berkumpul di masjid yang sama, dimana setiap waktu solat fardhu, masjid selalu ramai dengan jamaah. Tua dan muda senantiasa memenuhi panggilan azan untuk solat berjamaah lima waktu.

Pemerintah Desa Seloto mencanangkan program Seloto mengaji di mana masyarakatnya secara beramai-ramai mengadakan tartil al-Qur'an setiap minggu. Selain itu, pada hari tertentu, masyarakat umum juga mengadakan kajian keagamaan yang berpusat di Masjid Baiturrahman.

***

Seloto memiliki sejarah tersendiri sejak zaman penjajahan Belanda hingga hari ini. Cerita Seloto sebagai benteng dan persembunyian pejuang pada zaman penjajahan, cerita sikap pemerintah rezim orde baru terhadap masyarakat Seloto yang kekeh dengan prinsip berpolitik di bawah partai Islam berlambang Ka'bah (PPP) dan hingga saat ini dengan sikap dan pendirian masyarakatnya membangun desa dengan penuh kemandirian. 

Maju mundur Seloto terletak di tangan masyarakatnya untuk menentukan eksistensinya menjadi  desa madani yang disinyalirkan dalam al-Qurán, baldatun toyyibatun warobbun ghafur. (*).

Seloto, KSB: 02072017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun