“Lho…lho…lho, itu jimat lagi” katanya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sebuah spanduk berukuran 50x100 cm.
“Apa sih sebenarnya maksudnya?..makan dan minum jimat kali ya?”, dia kembali bertanya.
“Jualan pakai jimat. Makan dan minum pun pakai jimat pula. Aneh ya?”, tambahnya dengan nada sedikit kesal karena saya tidak juga mau menjawab pertanyaannya.
Desakan untuk menjawabnya terhenti oleh pelayan yang datang membawa sup tulang dan jus belimbing yang kami pesan. Kami mulai makan dengan lahap.
Selesai makan, karena merasa letih dan mengantuk, akhirnya kami langsung meninggalkan kawasan itu untuk kembali ke hotel tempat rekan saya itu menginap, sementara saya kembali ke rumah.
Keesokan harinya, saya menjemputnya kembali untuk berangkat ke Pelabuhan Stulang Laut menuju Batam dan kemudian rencananya melanjutkan perjalanan ke Jakarta menggunakan pesawat.
Sebelum Ferry yang ditumpanginya angkat jangkar, saya kirimi dia pesan melalui telepon genggam yang bunyinya lumayan singkat, “Jimat itu artinya irit alias hemat”.
Tak lama kemudian dia pun membalas pesan saya. “kalau begitu, saya akan datang lagi supaya bisa belanja, makan dan minum jimat”, demikian bunyi SMS yang dikirimnya.
Saya pun tersenyum, berjalan meninggalkan kawasan Stulang Laut, melewati beberapa pertokoan yang di dindingnya dipasangi spanduk bertuliskan “Jualan Jimat”.***