Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa Pertamaku Hanya Setengah Hari

27 Mei 2017   18:16 Diperbarui: 28 Mei 2017   14:22 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SAAT berumur lima tahun, aku mulai belajar berpuasa. Yang pasti cuman setengah hari. Tepat pukul 12.00 ketika matahari tegak lurus di ubun-ubun, kupahami sebagai pertengahan sebuah siang yang bagi orang-orang dewasa "baligh" tentu berpuasa penuh.

Seperti jamaknya orang-orang lain berbuka di saat magrib, aku melakukannya di siang hari. Berbuka puasa di hari pertama lalu solat zhuhur. Karena puasa masih separuh hari, maka saat bertemu teman sepermainan tidak bisa membanggakan diri yang sudah berpuasa. Pas hari kedua berhasil mencapai setengah hari lagi maka akan kuhitung kalau aku sudah berhasil dan memiliki satu puasa.

Orang-orang tua di kampung biasa iseng nanya puasa atau tidak? Sudah berapa puasanya? Nah di hari kedua atau hari-hari selanjutnya dengan pede menjawab jumlah puasa yang kujalani. Gampang memang menghitungnya karena bila sudah 20 hari Ramadhan, berarti puasaku 10. dan kalau tamat 30 hari Ramadhan berarti puasaku 15. Tapi kalau Ramadhan 

Entah kenapa aku sangat semangat berpuasa. Walau hal yang paling berat adalah bangun sahur tetapi tetap berusaha bangun walau pernah makan sahur sambil mata terpejam karena menahan kantuk yang sangat berat.

**

Bulan Ramadhan adalah bulan yang bukan saja memiliki makna religius di kampungku--Seloto, tetapi waktu itu memiliki nilai cultur yang tinggi. Berikut suasana Ramadhan di kampungku yang saya tahu juga demikian di seluruh Indonesia.

Bedug

Masa-masa kecil dulu, bedug menandakan masuk waktu, bedug sebagai media warga, dan beduq juga sebagai alat yang meramaikan suasana bulan suci Ramadhan dimana antara aktu solat fardu Zhuhur dan Ashar akan dibunyikan secara terus menerus dengan alunan yang khas. Warga kampung yang sedang tidak beraktivitas akan berduyun-duyun ke area masjid untuk menonton kelihaian para penabuh bedug yang saling bergantian. Meriah memang!

Tarawih

Tarawih pertama memang sangat ramai sekali. Warga kampung yang seharian beraktivitas di sawah dan ladang akan kembali lebih awal untuk bisa menunaikan shalat tarawih pertama. Tidak jauh berbeda volume jamaah di minggu pertama, kedua, ketiga dan keempat. Tingkat ketaatan shalat berjamaah masyarakat di kampung Seloto sangat tinggi dan bahkan menunaikan shalat fardu di bulan-bulan biasa, selalu penuh empat sampai lima shaf.

Sahur

Walau di kampung yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, waktu sahur di Seloto tidaklah sepi seperti yang dibayangkan. Tetap meriah dengan gerombolan penabuh gendang dan panci yang bersolawat membangunkan warga untuk bersahur. Saya termasuk aktif ikut keliling kampung membangun warga untuk bersahur.  

Berbuka 

Waktu berbuka jelas waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua muslim yang berpuasa. Saya sendiri menyaksikan kemeriahan jelang berbuka di Seloto yang memiliki kebiasaan saling memberikan lauk pauk atau kueh tradisional yang ada di sebuah rumah akan dihantar ke rumah saudara mara atau rumah tetangganya. Dan yang menarik saling membalas pemberian. Begitu setiap hari sehingga kita akan berkesempatan makan berbagai macam jenis makanan walaupun keluarga di rumah hanya memasak satu jenis masakan saja.

Zakat Fitrah

Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah di pusatkan di masjid atau madrasah. Zakat yang kebanyakan berupa beras itu akan dibagikan kepada warga kampung yang berhak menerimanya.

Malam takbiran

Seperti biasa, malam takbiran dimana-mana pasti meriah bahkan dengan pawai sepeda motor. Namun di Seloto cukup khidmat. Takbiran berpusat di masjid dengan sedikit pawai obor dan lampion yang dikoordinir oleh guru-guru sekolah. Bagi saya, untuk tataran kampung, sudah lebih dari cukup kreatif dan meriah.

Idul Fitri

Beberapa hari sebelum lebaran dan bahkan sebelum masuknya bulan puasa, warga kampung akan bergotong royong membersihkan kawasan perkuburan karena banyak warga yang akan melakukan ziarah kubur sebaik saja usai shalat iedul fitri.

Di hari kemenangan, para warga kampung akan mengutamakan mengunjungi anggota masyarakat yang sedang terbaring sakit atau warga kampung yang sudah tua (uzur). Baru kemudian mengunjungi rumah sahabat handai dan memenuhi undangan mencicipi kueh khas dan makanan tradisional lebarannya umat Islam rumpun Melayu yakni ketupat, opor ayam dan lontong sayur.***

Begitulah cerita dan pengalamanku saat belajar berpuasa dan suasana Ramadhan di kampungku--Seloto.

Sekedar refleksi masa lalu.

KL:27052017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun