Pekan silam, saya punya pengalaman seputar memilih alat transportasi di ibu kota Jakarta. Pengalaman sederhana menentukan pilihan antara ojek pangkalan atau gojek online berbasis aplikasi. Sebenarnya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Lalu bagaimana dengan pilihan antara ojek atau gojek?
Saya mencoba telisik lebih jauh beberapa moda transportasi baik konvensional maupun online dalam jaringan (daring). Kejadian itu saya alami di pinggir jalan seberang Ratu Plaza. Saat itu saya baru beres dari satu urusan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Memilih metromini, angkot yang sudah melampaui setengah abad menguasai ruas jalan kota Jakarta ini tiba dan berhenti persis di depan saya. Seperti biasa hendak menuju ke Blok M. Ongkos metromini masih sangat bersahabat, hanya empat ribu rupiah apabila naik dari seberang Ratu Plaza ke terminal Blok M.
Tak alpa supir bus membunyi klakson sebagai isyarat komunikasi dengan calon penumpang untuk segera naik. Sang kondektur dengan lantang berteriak…BlokM…Blok M…Ayoo Blok M…ayoo Blok M. Tanpa pikir panjang saya meluruh masuk dan mengambil tempat duduk persis di belakang supir. Di dalam bus hanya ada sekitar 3 orang penumpang.
Sekitar lima menit mangkal, angkot yang saya tumpangi tak kunjung bergerak. Sang kondektur masih sibuk mondar mandir menyapa dan meyakinkan calon penumpang. Tapi hasilnya nihil. Sayapun keberatan menunggu lama lalu turun beralih ke ojek pangkalan terdekat.
Memilih ojek pangkalan, dari metro mini langsung ke ojek pangkalan, tukang ojek menawarkan dan langsung saya sambut sambil bilang mau ke Blok M. Lelaki separuh baya yang mengenakan celana jean dengan kaos oblong warna biru muda, menyebutkan ongkos ke Blok M Rp. 30 ribu rupiah. Saya rasa cukup mahal mengingat jarak ke Blok M tidaklah terllu jauh. Akhirnya saya menolak menggunakan jasa ojek pangkalan.
Memilih taksi ber-AC tanpa argo menawarkan ke area Blok M dengan biaya Rp. 30 ribu rupiah. Wah menarik juga fikir saya. Biayanya sama dengan ojek padahal lebih enak dan nyaman apalagi berhawa dingin. Tapi akhirnya saya menolak lalu mendekat ke taksi berlambang burung warna biru.
Memilih taksi argo ternyata malah lebih murah. Supir taksi yang memakai seragam biru itu mempersilahkan saya masuk tetapi tidak memastikan jumlah ongkos saat saya tanya ke Blok M. Dengan ramah menjawab kita pakai argo sambil memperkirakan sekitar 25 ribu rupiah karena agak macet. Pun begitu saya batal menggunakan taksi itu.
Memilih transjakarta yang ikonik, lancar tanpa hambatan tetapi masih menunggu dan kadang berjubel. Tak jarang saya tidak kebagian kesempatan masuk karena busnya penuh. Ah saya juga urung menuju stasiun bus berlogo burung rajawali itu.
Memilih gojek online berbasis aplikasi sebagai alternatif yang dapat dimonitor posisi dan waktu datangnya. Saya coba buka aplikasi ternyata harganya jauh lebih murah berbanding harga ojek pangkalan. Hanya saja kelemahannya apabila tidak ada jaringan dan hp mati maka konsumen akan kesulitan mendapat jasa transportasi online apapun. Gojekpun saya batalkan.Â
Akhirnya saya tidak memilih ojek ataupun gojek. Saya malah beralih ke grab car dengan harga sedikit lebih mahal dari grab bike tetapi jelas mendapat pasilitas yang nyaman dan aman. Yang paling penting bisa sambil cas hp.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H