Mohon tunggu...
TH
TH Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lelaki yang Bernama Tuhan

26 Agustus 2015   20:30 Diperbarui: 26 Agustus 2015   23:17 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun aku yakin bahwa yang membuat kusenku menjadi bagus bukanlah pengetahuanku tentang kayu, tetapi karena aku mengerjakannya dengan hati dan dengan hati-hati. Termasuk ketika aku harus mengampelasnya atau memilih tekstur kayu yang tepat agar hasilnya optimal ketika kupelitur.

Kini, kusen-kusen yang kubuat sudah terpasang di banyak rumah, mulai dari rumah orang-orang biasa, pengusaha, hingga rumah-rumah pejabat. Menurut mereka kusen terbaik adalah kusen bikinan Tuhan. Sekali lagi, menurut mereka.

Aku kawin dengan perempuan dari desa sebelah. Namanya Sri Pengasih, anak bungsu seorang petani. Aku biasa memanggilnya Asih. Aku sangat bersyukur mendapatkannya. Dia adalah perempuan yang tidak cuma cantik – tentu dalam ukuran rasaku – tetapi dia juga seorang wanita yang baik. Saking baiknya, ia sering dimanfaatkan orang lain. Aku sering menasihatinya soal itu. Tetapi ia selalu yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan. Kalau semisal ada yang memanfaatkan kebaikannya, maka orang itulah yang akan dimanfaatkan oleh keburukan. Bukan kita.

Itulah Asih. Dan karenanya aku sangat mencintainya.

Hasil kawinku dengan Asih adalah seorang lanang yang kuberi nama Anak. Sesungguhnya dia anak yang baik dan periang, hingga kabar tentang keberadaanku menyebar kemana-mana. Kini dia menjadi anak yang pemurung. Dia tak mau lagi pergi ke sekolah karena malu dengan cemoohan dari teman-temannya. Pancen kirik media sosial – yang aku nggak tahu benar barang apa itu!

Asih juga kini menjadi orang yang tertutup. Bahkan sejak sering kedatangan wartawan, Asih lebih sering mengungsi ke rumah orang tuanya di desa sebelah. Sebenarnya ia tak terlalu bermasalah jika harus mengulang-ulang jawaban yang sama atas pertanyaan yang sama dari wartawan yang berbeda-beda. Namun Asih mulai jengah ketika para wartawan itu mulai menanyakan hal-hal yang ia sendiri tidak paham apa pentingnya hal itu ditanyakan. Makanan apa yang disukai Tuhan? Apakah Tuhan rajin keramas? Apakah Tuhan rajin ibadah? Bagaimana perasaan Ibu menjadi istri Tuhan?

Pernah, beberapa wartawan mencoba mengorek pendapat anakku. Saking takutnya dengan orang-orang itu, Anak berlari sambil berteriak, “Aku bukan anak Tuhaaaannn!!!”

Anak berlari kencang hingga menubrukku yang baru pulang dari pabrik. Aku kemudian memeluknya, menciumnya, dan menggendongnya pergi. Aku urung masuk ke rumahku. Tentu dengan harapan agar wartawan-wartawan itu segera bubar tanpa membawa kabar. Namun dugaanku meleset, keesokan hari koran-koran menuliskan berita tentangku dengan judul yang hampir sama. Tuhan Sangat Menyayangi Anaknya.

Hebat betul wartawan-wartawan itu!

Sejak kejadian itu rumahku jadi sering tak berpenghuni. Asih dan Anak menginap di rumah mertuaku, sementara aku lebih sering di pabrik kusen – orang kota menyebutnya workshop. Namun hal itu rupanya tidak menghalangi wartawan untuk terus mencariku. Untuk itu, aku memohon kepada paman agar berjaga-jaga di halaman depan pabrik.

Beberapa hari yang lalu seorang wartawan datang ke pabrik ingin menemuiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun