Mohon tunggu...
TH
TH Mohon Tunggu... lainnya -

---

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lelaki yang Bernama Tuhan

26 Agustus 2015   20:30 Diperbarui: 26 Agustus 2015   23:17 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kirik! Gara-gara media sosial – yang sebenarnya aku nggak tahu apa itu -- kini keberadaanku diketahui semua orang. Bukannya nggak mau dikenal orang banyak, tetapi aku takut sakit hati. Bukankah manusia adalah mahluk berkecenderungan? Manusia cenderung melupakan ketika sudah mengenal. Cenderung meninggalkan setelah mengunjungi. Cenderung mengabaikan kalau sudah mengakrabi. Dan kecenderungan-kecenderungan lain yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Apalagi hanya jika karena sebuah nama!

 

Namaku Tuhan. Aku tidak tahu persis mengapa bapak memberiku nama seperti itu. Aku pernah bertanya kepada Emak tentang itu. Katanya, bapak ingin aku menjadi penguasa dunia dan akhirat. Bapak ingin aku menjadi orang yang mengawali dan mengakhiri. Tapi aku tak yakin betul soal itu karena aku tak pernah bicara dengan bapak. Ia mati tepat saat aku dilahirkan. Ia hanya berpesan kepada emak agar aku dinamai Tuhan. Dan Emak memenuhi wasiat itu.

Seperti anak-anak yang lain, ketika usiaku tujuh tahun aku disekolahkan di sebuah SD. Semua berjalan normal-normal saja. Teman-temanku juga memperlakukan aku sewajarnya. Nggak ada bedanya. Aku bermain gundu dengan teman-temanku. Aku juga belajar kelompok dengan mereka. Dan setiap malam bulan purnama, aku juga turut merayakannya dengan bermain petak umpet.

Tetapi guru-guruku tidak pernah menyuruhku menghapus papan tulis atau melakukan pekerjaan apapun. Mereka juga tidak pernah memanggil namaku setiap mengabsen murid-muridnya. Jika aku tidak sekolah karena sakit – atau karena malas, guruku tetap mencentang namaku di kolom kehadiran.

Pernah aku memberanikan diri bertanya kepada salah satu guru mengapa ia tak pernah memanggil namaku setiap kali mengabsen. “Karena kami yakin Tuhan selalu ada,” begitu jawabnya tanpa bisa kubantah.

Selepas SMP, aku tak melanjutkan ke SMA. Ah, maaf, sebenarnya aku sempat SMA, tetapi hanya kelas satu. Itu pun tak usai. Seingatku hanya jalan tiga bulan. Aku mangkir setelah teman-teman memanggilku bukan dengan namaku. Kalau bukan ‘Sila satu’, mereka memanggilku ‘Maha’. Tetapi yang paling menyakitkan adalah kalau mereka memanggilku ‘Hey’. Seolah aku tanpa nama.

Umurku hampir tujuh belas ketika paman mengajakku bekerja sebagai tukang bangunan. Mulanya aku hanya tukang angkut adukan, kemudian aku diajari mengaduk, menempel bata, dan menyemen. Kudengar para pemilik rumah yang rumahnya turut kubangun sering berkata kepada teman-temannya. Rumahku ini bikinan Tuhan, lho!

Belakangan, pamanku yang lain mengajariku membuat kusen. Aku sangat menikmati pekerjaan yang terakhir ini.

Untuk membuat kusen aku selalu memulai dengan pemilihan kayu yang bagus. Aku lebih memilih kayu jati karena kuat, awet, dan indah. Kusen bikinanku juga bebas sambungan. Murni kayu utuh. Bagiku, sambungan hanya akan menghasilkan kusen yang tidak kuat dan rawan dimakan cuaca. Mudah memuai atau melengkung. Paman juga mengajariku dengan baik tentang struktur kayu agar aku tidak menjadikan pangkal kayu sebagai bagian atas kusen sehingga kusen bisa berdiri dengan kokoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun