Ada satu pertanyaan setiap saya mendengar atau membaca naskah proklamasi: bagaimana sih pelaksanaan pemindahan kekuasaan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja?
Jujur, saya tidak tahu. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah buku lawas di rak buku almarhum ayah mertua saya. Buku itu berjudul Bunga Rampai Dari Sejarah. Karya Mohamad Roem. Diterbitkan oleh Bulan Bintang, tahun 1972.
Buku tersebut terdiri dari dua bahagian. Masing-masing bahagian terdiri dari 15 artikel. Nah, pada bahagian pertama, terdapat artikel berjudul Bulan Pertama Republik Indonesia (hal. 57). Di situlah saya menemukan jawaban bagaimana persisnya pelaksanaan pemindahan kekuasaan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebagaimana termaktub dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan.
Sebelum menjelaskan, Roem kembali mengingatkan kepada pembacanya bahwa kemerdekaan RI bukanlah hasil kongkalikong dengan Jepang. Bukan hadiah dari negeri sakura. Melainkan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kuasa Tuhan itu diawali dengan terciptanya sebuah momentum. Yaitu, kesalahan prediksi sekutu terhadap menyerahnya Jepang. Semula, sekutu memperkirakan Jepang baru akan menyerah pada Nopember 1945. Ternyata, Jepang menyerah empat bulan lebih cepat, yaitu Agustus 1945.
Jepang kalah. Kalah yang terlalu cepat. Kalah ketika sekutu belum terlalu siap bergerak lebih lanjut. Situasi yang memaksa sekutu harus mengubah rencana. Semula, sesuai kesepakatan sekutu dalam perang Asia, seluruh wilayah Indonesia (kecuali Sumatera) akan diduduki oleh tentara Amerika. Namun, konferensi Postdam memutuskan Inggris lah yang akan menduduki seluruh wilayah RI itu (termasuk Sumatera), sebelum kemudian diserahkan kembali kepada Belanda.
Bagi Inggris, itu bukan tugas yang ringan. Butuh banyak tenaga, waktu dan biaya. Dan, Inggris tidak siap-siap amat.
Situasi tersebut terpantau dengan baik oleh para pemuda Indonesia. Oleh karena itu, mereka memaksa Soekarno-Hatta untuk segera menyatakan kemerdekaan. Bahkan, saking tidak sabarnya, mereka sampai menculik kedua pemimpin bangsa tersebut.
Puji Syukur, akhirnya kemerdekaan RI benar-benar diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hari Jumat di bulan Ramadhan, kala itu.
Setelah proklamasi dibacakan, para pemimpin dan pemuda bangsa segera bertindak cepat demi menuntaskan amanat proklamasi. Yaitu pemindahan kekuasaan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Satu hari setelah proklamasi dibacakan, para tokoh bangsa yang merupakan bekas anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan beberapa eksponen pemuda seperti Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana segera berkumpul. Hari itu juga, badan yang belum memiliki nama itu berhasil menyepakati dan mengesahkan UUD serta mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada hari berikutnya, badan tersebut barulah secara resmi diberi nama Komite Nasional Pusat.
Berburu dengan waktu, namun tidak grusa-grusu, Soekarno-Hatta segera menyusun kabinetnya. Maka, pada 4 September 1945, kabinet terbentuk. Mereka yang diangkat sebagai menteri adalah putra-putra bangsa yang sebelumnya menjabat sebagai wakil kepala di departemen masing-masing. Perlu diketahui, selama Jepang berkuasa, Jepang membentuk departemen-departemen yang dikepalai oleh orang Jepang dan orang pribumi sebagai wakilnya. Para wakil kepala departemen itulah yang dijadikan menteri oleh Soekarno-Hatta.
Hal yang sama juga berlaku di daerah-daerah. Kepala daerah adalah orang Jepang, sementara wakilnya adalah pribumi. Nah, para wakil kepala di daerah itu kemudian diangkat sebagai gubernur dan residen. Meskipun sempat mendapat pertentangan dari kaum muda, namun strategi itu tetap dijalankan. "Ini adalah sebuah siasat merebut kekuasaan dari dalam." tulis Roem.
Lengkaplah sudah segala komponen yang dibutuhkan oleh sebuah negara. Memiliki wilayah, UUD, kepala negara/pemerintahan beserta kabinetnya, serta aparatur di seluruh wilayahnya. Ada wilayah, ada pemerintah, dan ada yang diperintah.
Dan, semakin lengkaplah ketika seluruh aparatur dan rakyat mematuhi perintah Soekarno untuk mengambil alih kekuasaan dan wewenang di masing-masing departemen dan daerah. Yang artinya, para kepala departemen dan daerah, yang orang-orang Jepang itu, dipaksa turun. Yang menolak turun, ditawan oleh para pemuda (rakyat).
Benar-benar siasat jitu merebut kekuasaan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Merdeka!
***
@thriologi
Bintaro, 21 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H