Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maskumambang Srimulat

24 Mei 2018   19:43 Diperbarui: 7 Januari 2019   15:56 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Pada saat yang tak terpaut jauh dengan peristiwa itu, tepatnya 8 Agustus 1926, nun di Desa Bareng, Klaten, lahirlah seorang bocah lanang dari pasangan penjual bakmi bernama Kho Swie Hien dan Go Djoen Nio. Bocah itu bernama Kho Djien Tiong, sebelum kemudian diganti menjadi Teguh setelah diadopsi oleh pamannya sendiri yang bernama Go Bok Kwie.

Usia Teguh masih batuta alias dibawah satu tahun ketika diboyong oleh adik kandung ibunya itu ke Pringgading, Solo. Alasan Go Bok Kwie mengadopsi anak ketujuh kakaknya itu adalah karena pernikahannya dengan Ginem tak kunjung dikaruniai momongan.

Kalau dilihat dari sisi ekonomi, kondisi Go Bok Kwie sebenarnya tidak lebih baik dari kakaknya. Malah bisa dibilang konsisten di bawah garis kemiskinan. Keluarga itu hanya hidup dari gaji mingguan yang tak seberapa, yang diterimanya sebagai buruh di percetakan kecil milik Liem Gwan Bie.

Teguh kecil akrab dengan Pak Wiro King Kong, seorang pembuat gitar dan cello. Darinya, Teguh mengenal dan belajar barmain gitar. Karena memang berbakat, Teguh cepat menguasai permainan alat musik petik tersebut.

Hampir setiap hari siswa Tiong Hwa Hwee Koan itu belajar nggitar di rumah Pak Wiro. Maklum, jangankan untuk membeli gitar termurah sekalipun, gaji bapaknya itu buat membeli makan saja kadang kurang. Bahkan, ketika masa pendudukan Jepang, Teguh terpaksa harus membantu perekonomian keluarga dengan turut serta menjadi buruh percetakan di tempat kerja ayahnya.

Teguh yang udah kadung gandrung dengan seni musik tidak betah bekerja seperti itu. Maka, ketika secara kebetulan percetakan itu seret order, Teguh pun mundur. Panggilan untuk bermusik lebih menggodanya.

Selanjutnya, Teguh kembali terpekur dalam dunia musik. Saat usianya mencapai enam belas tahun, Teguh bersama tiga orang temannya membentuk kelompok keroncong bernama Keroncong Aseli.

Ketika hal itu terjadi, Sri Mulat sudah melewati berbagai babak kehidupan barunya sebagai insan seni. Hinggap dari satu kelompok kesenian ke kelompok kesenian lainnya, dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya. Berkeliling ke berbagai kota yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

Sri Mulat sudah menjelma menjadi seorang biduanita terkenal. Suaranya bahkan sudah diabadikan dalam piringan hitam sehingga orang-orang berpunya dari kalangan ningrat maupun orang-orang Eropa dapat mendengarkan lantunan suara merdunya.

Masa pendudukan Jepang yang mengubah hampir semua tatanan aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik tak menyurutkan langkah Sri Mulat dalam menapaki kehidupan sebagai manusia seni. Demikian juga Teguh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun