Di tengah danau yang airnya keruh, kami duduk berdua di atas sampan. Aku dan saudaraku. Sejauh mata memandang, pepohonan dengan sulur-sulur akar yang menggantung dari dahannya, lalu jatuh mencium danau.
Tak ada angin. Kami yang bertelanjang, tiada sedikit pun merasakan dingin.
"Apakah kau masih ingat ucapan Bapak?" tanyanya.
"Tentang apa?"
"Tentang kita,"
"Tentu. Aku tak akan pernah melupakannya,"
Mendadak air danau bergelombang. Sampan kami bergoyang, dan kami berpegangan.
"Apa jadinya jika tiba-tiba air danau ini surut?" tanyaku ketika danau kembali tenang.
"Itu artinya kita akan berpisah,"
"Kita akan masuk ke pusarannya, dan membawa ke dalam cermin. Dan saat itu terjadi, itulah saatnya kita akan berpisah.
Aku diam.
"Dan itu artinya kau akan pelan-pelan melupakan percakapan kita dan ucapan Bapak," lanjutnya.
"Kau terlalu menganggapku lemah," timpalku.
"Tidak. Bukan seperti itu. Tapi kau akan segera menemukan keasyikanmu. Dan keasyikan adalah muslihat yang menipumu. Saat itu terjadi, kau akan melupakan apa yang telah terjadi selama ini,"
"Kau," lanjutnya, bagaikan mata yang lama terpejam, yang hanya melihat gelap, kemudian terbuka dan melihat segala sesuatu. Kau terpukau oleh segala sesuatu yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Hingga kau sibuk mengenalinya satu persatu sampai-sampai kau lupa mengenali dirimu. Kau mengambilnya satu persatu dari mereka yang menyenangkanmu. Kau makin jauh meninggalkan dirimu, makin tak mengenali dirimu. Jangankan mengingat aku, kesibukanmu itu akan membawamu makin melupakan dirimu dan Bapak.
Aku berusaha tersenyum sambil memeluknya.
"Aku tidak akan melupakanmu, percayalah" Ucapku meyakinkannya.
"Kau boleh berkata begitu, tapi apakah kau akan sanggup menaklukkan waktu?" sanggahnya.
"Waktu?"
"Ya. Waktu. Dia yang akan menciptakan ruang buatmu,"
Aku menatapnya, "Ruang?"
"Ya. Ruang. Dia yang akan membatasi waktumu,"
"Waktuku? Apakah waktu akan menjadi milikku?"
"Terserah kau nanti. Apakah kau yang akan memilikinya atau kau yang akan dimilikinya,"
Dahiku berkerut. Mataku menciut.
"Jika kau mampu menggenggam waktu maka kau akan menciptakan ruangmu sendiri, tapi jika kau yang dikendalikan waktu maka dialah yang akan menciptakan ruang buatmu hingga kau terpenjara di dalamnya, lalu waktu akan meninggalkanmu hingga kau mengejarnya, menuntut iba padanya,"
Mataku makin menciut.
"Sampaikan padaku rahasia kelemahannya biar aku dapat menaklukkannya," pintaku.
"Percuma saja. Kau akan melupakannya,"
"Setidaknya sampaikanlah,"
Dia diam.
Menimbang.
Lalu menatapku lekang.
"Dengar. Ini adalah rahasia yang akan segera kau lupakan," ucapnya.
"Jika kau ingin menguasai waktu, kenalilah Cinta, Cipta, Ilmu, dan Kalbu. Cinta akan membawamu ke surga, tapi juga dapat menjerumuskanmu ke neraka. Cipta akan membuatmu menjualang, namun juga dapat menjatuhkanmu ke jurang. Ilmu akan membuatmu mengenali dirimu, namun juga dapat melupakan asalmu. Kalbu adalah tempat kembalimu yang mudah kau lupakan.
Kau adalah persekutuan ruh, aql, dan wadag. Wadagmu bergerak karena ruhmu, wadagmu beraksi karena aql-mu. Kenalilah ruh dan aql-mu. Wadag adalah yang kau rasakan, namun sejatinya tiada. Ruh tak dapat kau jamah, namun sejatinya abadi. Karena wadag dapat kau rasakan maka kau cenderung memuaskannya. Karena Ruh tak dapat kau sentuh, kau cenderung melupakannya. Karena aql tersembunyi, kau cenderung menafikannya.
Jika kau ingin menguasai waktu, kuasailah dirimu. Kenalilah dirimu. Jangan menjauh dari dirimu. Ingatlah, barangsiapa mengenali diri dia akan mengenali asal. Bangunkan aql-mu, puaskan ruhmu, pelihara wadagmu. Dengan demikian kau akan menguasai waktu, bukan dikuasai waktu."
Bersamaan dengan akhir petuahnya, danau tiba-tiba bergolak. Airnya memusar membuat sampan yang kami naiki berputar-putar. Apa yang kami takutkan sepertinya benar-benar akan terjadi: air danau surut dan kami akan tersedot ke dalamnya. Tanganku berusaha memegang tangan saudaraku agar tak terlepas namun pusaran air itu sungguh kuat. Kami benar-benar terpisah. Aku terseret pusaran air itu, masuk ke dasar danau. Aku tak tahu apa yang kemudian terjadi.Â
Ketika kubuka mataku, aku menemukan diriku berada dalam terang cahaya yang menyilaukan. Kulihat seorang wanita terkulai, seorang berpakaian putih, yang tak kukenali, berdiri memegang tubuhku, dan beberapa orang lagi, yang juga belum kukenal, menyaksikanku dengan senyuman. Aku sontak menangis ketika tak kulihat saudaraku di antara mereka.
Tangisku makin meninggi manakala kulihat saudaraku keluar belakangan dalam keadaan diam, hanya segumpal daging tanpa nyawa. Kau benar, saudaraku, pusaran air danau itu telah memisahkan kita. Dan aku benar-benar menangis sejadinya.
Namun kesedihanku tak berlangsung lama. Sekali lagi, kau benar, saudaraku, aku menemukan dunia baru. Dunia penuh warna dan cahaya. Warna dan cahaya. Oh, lihatlah, warna dan cahaya itu berpendaran mengajakku bermain. Aku mengejarnya semauku, sesukaku. Kau benar, saudaraku, dunia ini sungguh mengasyikkan.
***
@thriologi
Bintaro, 19 Mei 2018
Ditulis di kedai LakukopiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H