Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kucing Hitam

10 Mei 2017   11:27 Diperbarui: 10 Mei 2017   11:40 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: http://wonderopolis.org/

Di sebuah rumah ada dua ekor kucing. Si Belang dan si Hitam. Si Belang adalah kucing rumahan yang manis dan manja. Si Hitam adalah kucing liar yang karena kesulitan mencari makan di jalanan membawanya sering mampir ke rumah itu. 

Sebagai kucing liar, perangai si Hitam cenderung lebih berani dan garang sehingga ditakuti oleh tikus-tikus got, apalagi tikus rumahan. Sementara si Belang, jangankan menghardik tikus, melihat ekor tikus pun dia memilih pura-pura tidur.

Maka wajar kiranya jika bagi para tikus, si Hitam tak ubahnya malaikat maut dan derap langkahnya adalah suara lonceng kematian. "Jika kau mendengar lonceng itu atau jika kau melihatnya, tak ada yang lebih baik bagimu selain menghindar atau diam seribu tindak," demikian pesan tikus-tikus tua kepada anak-anaknya.

Hingga suatu malam, si hitam memeow teramat keras demi menghadapi serangan kucing lain. Suaranya memecah keheningan malam yang gelap hingga membangunkan tikus-tikus yang terbaring lemah karena lapar. Bahkan pemilik rumah pun terbangun saking kagetnya. Kesal dan marah, pemilik rumah meraih sapu kemudian menghardik dan mengusir si hitam.

Keesokan harinya, pemilik rumah mendapati si Hitam mati. Tubuhnya terbujur kaku di pinggir got, penuh luka. 

Pemilik rumah segera menghambur ke belakang rumahnya. Diambilnya sebuah kantong sisa wadah beras dan sebuah sekop. Lalu dibungkusnya jasad si Hitam dengan kantong itu. Kemudian digalinya tanah di halaman belakang rumahnya, persis di bawah pohon pisang.

Pelan-pelan, jasad si Hitam dimasukkannya ke dalam kubur. Pelan-pelan, ditimbunnya kubur itu dengan tanah. Dan pada setiap tanah yang dituangkan ke dalam liang, awan hitam pelan-pelan menutup cahaya matahari. Begitulah hingga kubur itu benar-benar tertutup dan awan hitam benar-benar menciptakan gulita.

Awan hitam itu terus menebal dan mendekat sampai-sampai ia dapat menyentuhnya. Nafasnya mendadak sesak. Badannya mendadak kaku. Mulutnya terkunci. Semua organ tubuhnya tak mampu ia fungsikan kecuali sepasang telinganya yang masih bekerja. Saat itu, ia mendengar isak tangis anak-anaknya. Ia mendengar rapalan doa tahlil sanak kerabatnya. Ia juga mendengar suara si Hitam yang memeow.

Ketika ia mendengar suara langkah kaki satu persatu meninggalkannya sendiri, ia menangis disergap ketakutan. Tangisnya baru berhenti ketika ia melihat sesosok tubuh mendekatinya. Namun tak lama. Rasa takut kembali menyergapnya ketika sosok itu bertanya, "Siapa Tuhanmu?"

*** 

Jakarta, 9 Mei 2017

@thriologi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun