Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebaran yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan

29 Juni 2016   13:45 Diperbarui: 29 Juni 2016   14:07 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source: http://www.bluebeetle.me/blog/happy-eid-al-fitr.html

Lebaran sebentar lagi. Umat Islam mulai mengepak bekal menyambut idul fitri – sebuah hari raya yang sering disebut sebagai hari kemenangan atau hari pembebasan. Pertanyaannya, kemenangan dari apa? Bebas dari apa? Dari Ramadhan? Apakah Ramadhan adalah musuh? Apakah ia adalah belenggu? Ough!

Jujur saja, sedari dulu saya terusik dengan penggunaan istilah hari kemenangan. Siapa sih yang memulai penggunaannya. Kok tega yah? Lho, lho, tega bagaimana maklud su? Hehe…

Begini. Secara bahasa, Idul Fitri itu berasal dari dua kata; ‘id dan al-fitri. ‘Id berasal dari kata ‘aada yang artinya kembali atau kebiasaan. Hari raya disebut ‘id karena terjadi berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. Adapun kata fitri memiliki akar kata afthara yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Jadi secara bahasa, sama sekali tidak ada unsur ‘kemenangan dan pembebasan’ di dalamnya. Yang ada adalah ‘berbuka’. Dengan demikian, arti hari raya Idul Fitri itu adalah ‘Taraaaa, saatnya kita berbuka!’ :))

Namun oh namun, banyak dari kita yang kemudian berlebih-lebihan dalam ‘berbuka’. Banyak dari kita yang kemudian menjadikan Idul Fitri sebagai ‘pesta’ berakhirnya bulan puasa. Banyak dari kita yang kemudian ‘memuliakan perut’ sampai kenyang bego. Banyak dari kita yang kemudian menjadikan Idul Fitri sebagai hari raya model profan yang berorientasi mammonisme*; bagi mereka, lebaran adalah hari pamer kekayaan dan unsur-unsur yang membungkusnya, serta larut dalam konsumerisme.

Saya membayangkan, alangkah akan lebih indahnya jika kita menjadikan Idul Fitri sebagai pintu gerbang humanisme setelah sebulan penuh kita berpuasa. Sebagaimana kita tahu, tujuan berpuasa Ramadhan adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa (QS. 2:183). Sedangkan pengertian takwa, menurut Rasululan Saw, adalah "Patuh kepada Allah dan tidak mengingkari perintah-Nya, senantiasa mengingat Allah dan tidak melupakanNya, bersyukur kepada Allah dan tidak mengingkari nikmat-nikmatNya" (HR. Bukhari Muslim).

Sepintas, tujuan berpuasa Ramadhan adalah hanya untuk Allah. Kepatuhan, dzikr, dan syukur, semua itu untuk Allah. Lalu, mana bagian untuk manusia? Mari kita tengok lebih dalam. Apakah orang yang bertakwa - sebenar-benarnya takwa, bukan artifisial - akan berbuat onar atau merugikan orang lain? Apakah orang yang senantiasa mengingat Allah akan berbuat jahat kepada sesama? Apakah orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah akan bertindak pelit dan masa bodoh dengan orang lain? Rasa-rasanya kok tidak ya...

Allah sebenarnya sudah ngasih kode lho agar menjadikan Idul Fitri sebagai pintu gerbang humanisme. Yaitu melalui kewajiban mendermakan harta alias berzakat (zakat fitrah) setelah kita tunai berpuasa sebulan penuh. Itu artinya, setelah kita melakoni perjalanan ruhani demi menjadi insan yang bertakwa, kita kemudian dikembalikan lagi oleh Allah ke 'fitrah' kita yaitu sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, sudah semestinya kita menjalani peran baik (sebagai implementasi ketakwaan kepada Allah) yaitu dengan menjalankan persaudaraan (al-ikha'), toleransi (tasammuh), dan adil (al-adalaah).

Jika demikian, Idul Fitri kita tidak akan dipimpin oleh mammonisme, namun dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan demi kemaslahatan umat manusia. Selamat menjelang Idul Fitri.

Wallahu alam.

Jakarta, 29 Juni 2016

---

*) Lihat Abd Wahid, Islam di Tengah Pergulatan Sosial, PT Tiara Wacana Yogya, 1993, hal. 118

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun