Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Perfecto!

10 Juni 2016   23:19 Diperbarui: 13 Juni 2016   11:49 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak aku hidup, dia adalah satu-satunya manusia yang pernah kukenal. Dia mengurungku di kamar ini sejak aku mati hingga dia menghidupkanku. Bagiku, dia adalah Tuhan. Maka sudah selayaknya aku mencintainya. Dan sejak aku mencintainya, aku merasakan hidupku semakin hidup. Namun, perasaan itu pula yang kemudian menyiksaku setiap kali ia pergi meninggalkanku sendiri di kamar ini. Kamar di mana aku dihidupkan dari ketiadaanku.

Aku sering berpikir keras bagaimana caranya agar ia tak lagi pergi meninggalkanku. Agar ia tetap tinggal menemaniku di kamar ini. Tak kutemukan jawaban lain selain aku harus membuatnya tak hidup sehingga ia tak mampu lagi melangkahkan kakinya keluar dari kamarku. Tapi bagaimana?

Dan hari ini, ia datang pagi betul. Jam dinding di hadapanku menunjukkan pukul 10.00. Seperti biasa ia menyapaku dengan ramah. “Hai, cantik!” ucapnya. “Semalam aku mencuri sebilah pisau dapur dari ruang Sapardi Djoko Damono,” lanjutnya sambil meletakkan pisau itu di dekat tangan kananku yang bertelekan di atas meja bulat di hadapanku.

Pisau itu mengerlingkan matanya yang tajam. Seolah mengundangku untuk melaksanakan niat baikku; membunuhnya, agar ia tak lagi meninggalkanku sendiri di kamar yang kecil dan pengap ini. Aku masih menimbang-nimbang undangan pisau dapur itu ketika dia mengucapkan, “Perfecto!”

Ia mundur sejengkal sebelum kemudian mengucap perfecto lagi dengan senyum puas hingga mempertontonkan gigi serinya. Senyum yang semakin membuatku tersiksa.

Dan ketika ia kembali mendekatiku –-untuk menuliskan namanya di atas meja bulat di hadapanku, di dekat mawar merah yang dicurinya dari taman Hazrat-– tanganku tiba-tiba meraih pisau dapur itu lalu kuhunjamkan ke dadanya begitu saja. Lelaki itu tersungkur bersimbah darah, di hadapanku.

*

Pukul 3 sore ketika banyak orang memenuhi kamarku. Mereka membopong lelakiku ke luar kamar. Dan membawaku pula. Aku melintasi sebuah layar kaca, kulihat seorang wanita sedang bicara, “Seorang pelukis mati di depan karya terakhirnya,”.

***

Ditulis di Kedai Laku Kopi 2, Ruko Althia Bintaro

10 Juni 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun