Di urutan kedua adalah faktor kemudahan mendapatkannya. Seperti yang tadi sudah kita obrolin, orang tidak sudi berlama-lama di pinggir jalan hanya untuk menunggu datangnya taksi. So, jika taksi yang diincarnya tak kunjung datang, dia akan beralih ke taksi lain (yang ada di urutan kedua dalam peta preferensinya) yang kebetulan melintas di depannya.
“Hmm, sepertinya faktor itu juga yang bikin orang-orang pindah ke taksi online. Tinggal pesen pakai handphone, duduk manis, taksi datang,” kata Om Fredi menimpali.
"Bisa juga ganti ke ojek online," imbuhnya.
"Betul. Ojek online itu akhirnya menjadi alternatif paling ok, apalagi kalau kita buru-buru dan mempertimbangkan kemacetan," timpal Om Dani.
"Trus faktor yang ketiga apa?" kejar om Firza.
Yang ketiga adalah soal tarif. Sejak diberlakukan tarif batas atas dan batas bawah di industri pertaksian, tarif menjadi variabel penting bagi konsumen. Aturan ini pula yang turut melambungkan Express karena memilih menerapkan tarif bawah plus kondisi mobil yang relatif baru dibanding pesaing lainnya selain Blue Bird.
“Dan alasan tarif yang lebih murah itu pula lah yang bikin orang-orang mulai beralih ke layanan taksi aplikasi,” ucap Om Firza berusaha menarik simpul.
Faktor keempat adalah pengetahuan supir tentang jalan. Kalau kita baca di media sosial banyak tuh yang mengeluhkan sopir-sopir taksi yang ternyata nggak tahu jalan. Calon penumpang taksi pun kadang nggak tahu jalan juga, kan? Selain itu, banyak juga penumpang taksi yang niat naik taksi karena ingin duduk tenang sambil mainin gadget, tahu-tahu udah nyampe di tujuan aja. Makanya akan jadi menyebalkan jika si penumpang juga harus jadi penunjuk jalan buat sopir taksinya.
Kelima adalah jarak tempuh. Ada kecenderungan semakin jauh jarak tempuhnya, calon penumpang akan memilih taksi dengan tarif bawah. Lebih irit, Om!
"Yah, itu sih gue banget. Hahaha!" Sergah Om Fredi sambil nyeruput JCo, salah satu menu andalan di kedai miliknya. Namanya keren kan? padahal itu singkatan Jahe Coffee. Hahaha!
Diskusi kami berjalan semakin hangat dan baru berakhir ketika adzan Maghrib berkumandang dari mushola Pasar Segar. Satu per satu dari kami berpamitan setelah sebelumnya membayar kopi yang dipesannya masing-masing. Saya keluarkan Rp 18.000 untuk secangkir kopi tubruk Gayo Arabica Red Mountain.