Setiap peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober,gairah untuk mereview kembali prestasi pemuda masa lampau di jaman perjuangan kembali didengungkan. Dengan berbagai sudut ungkapan kekaguman pada perjuangan mereka. Sambil dibalik itu kadang mencibir pada aktifitas pemuda masa kini yang dinilai terpuruk, kurang nasionalislah, “dekat’” dengan narkoba dan perilaku buruk lainnya yang besifat masih kasuistik namun telah digeneralisir.
Adalah kurang pas bila membanding pemuda masa lalu dengan segala heroismenyadengan pemuda masa kini. Karena jaman yang dilalui tiap pemuda beda nuansa, pemuda dulu punya musuh bersama yang secara fisik bernama penjajahan oleh bangsa lain. Sedang pemuda kini punya tantangan untuk eksis dalam hiruk pikuk kehidupan yang penuh warna.
Sebenarnya setiap pemuda dalam jamannya mempunyai kesamaan, jika mendapat ruang yang pas akan memunculkan potensi kepemudaannya.Mari sejenak kita renungkan bukankahsekarang ini pemerintahan dijalankan oleh orang-orang yang dijamannya dulu mereka disebut atau menyebut diri pemuda. Namun apa yang terwujud? Negara ini subur perilaku korup, egoisme kelompok dan perilaku tidak jujur lainnya, baik yang dilakukan oknum pemerintahan maupun oknum masyarakat. Ini sebuah pemandangan dari alam kehidupan yang akan diarungi pemuda. Sebuah suguhan yang awalnyadipandang menjijikkan oleh pemuda yang masih terisi semangat idealis. Namun bila tayangan ini terus menerus berlangsung, mudah di tangkap setiap saat, maka akan terjadi teori Stockholm syndrome, berubah menjadi penilaian yang biasa,malah medorong untuk ikut mencicipi.
Yang dibutuhkan pemuda adalah untuk wahana ekspresi diri, ruang-ruang ketertarikan yang akan memikat pemuda masuk didalamnya. Bila pemuda telah menemukan ruang ekspresi yang pas bagi dirinya, secara alamiah akan mendorong terpancarnya kreatifitas pemuda. Apakah pemerintah tidakmembuat ruang itu? Banyak ruang dibuat oleh pemerintah, namun yang terlupakan adalah memberi roh ruang itu menjadi sebuah wadah yang nyaman. Ruang-ruang yang diciptakan masih ada yang terkesan kejar tayang, agar dinilai telah melakukan kepedulian pada pemuda. Padahal sisi pemikat yang menciptakan ketertarikan pemuda terasa kering. Sehingga yang terjadi pemuda menciptakan sendiri ruang-ruang ekspresi diri. Masih mujur bila ruang itu positif, namun bila ruang itu bersifat negative? Kenakalan remaja, perkelahian pemuda, narkoba, adalah ruang-ruang negatif yang mempunyai daya pikat sehingga ada sebagian pemuda terjerumus didalamnya. Agama bilang inilah kerja setan.
Kerja penciptaan ruang-ruang pisitif menjadi harapan sekaligus tantangan bagi semua elemen bangsa, dari sisi rumah, pendidikan, perilaku kehidupan masyarakat, dan penyelenggara pemerintahan. Semua elemen ini harus bersamaan bertekad untuk mempersiapkan ruang ekspresi yang berisi “Ruh” sehinggat sangat memikatpemuda, yang mampu memunculkan kreativitas dan kebanggaan mereka.
Kita harus percaya bahwa pemuda kita tidaklah seburuk yang diopinikan, masih banyakpemuda kita yang baik walau mereka belum menemukan ruang untuk ekspresi diri. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H