Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca, Penulis dan Analis Sosial

Hidup dimulai dari mimpi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Poligami di Kalangan ASN Jakarta. Seberapa Penting Peraturan ini Dibuat?

18 Januari 2025   07:30 Diperbarui: 18 Januari 2025   01:19 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pj. Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi dalam wawancara pers terkait Pergub yang mengatur poligami bagi ASN Jakarta. (image: kompas.com)

Jakarta memulai tahun 2025 dengan regulasi baru yang mengatur tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Pergub Nomor 2 Tahun 2025, yang ditandatangani oleh Penjabat Gubernur Teguh Setyabudi pada 6 Januari 2025, menjadi perhatian publik, terutama karena mengatur mekanisme yang lebih rinci terkait izin berpoligami bagi ASN pria. Aturan ini menegaskan berbagai syarat yang harus dipenuhi serta potensi sanksi berat bagi pelanggar. Namun, di balik regulasi ini, terdapat berbagai lapisan isu yang perlu dianalisis, dari aspek hukum, sosial, hingga moralitas.  

Mengapa Aturan Ini Diperlukan?

Regulasi ini bukanlah hal baru dalam administrasi kepegawaian. Aturan serupa sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, serta revisinya dalam PP Nomor 45 Tahun 1990. Namun, Pergub ini memberikan sentuhan lebih rinci untuk menyesuaikan dengan kebutuhan lokal Jakarta, sekaligus mempertegas mekanisme izin yang kerap kali dianggap abu-abu oleh banyak pihak.  

Poligami di Indonesia secara hukum memang diperbolehkan dalam kondisi tertentu, tetapi sering kali menjadi isu kontroversial. Dalam konteks ASN, praktik poligami berpotensi mengganggu tugas kedinasan jika tidak diatur dengan baik. Pergub ini bertujuan untuk memastikan agar ASN tetap menjalankan tugasnya dengan profesional, sambil tetap mematuhi norma hukum dan etika yang berlaku.  

Penetapan Persyaratan

Pergub ini memuat beberapa persyaratan ketat yang harus dipenuhi ASN pria yang ingin berpoligami. Misalnya, izin hanya dapat diberikan jika istri tidak mampu menjalankan kewajibannya, menderita cacat tubuh atau penyakit berat, atau tidak dapat memberikan keturunan setelah sepuluh tahun pernikahan. Di sisi lain, persetujuan tertulis dari istri atau para istri menjadi syarat mutlak, menunjukkan adanya pengakuan terhadap hak dan suara perempuan dalam keluarga.  

Selain itu, aspek finansial dan keadilan juga ditekankan. ASN yang ingin berpoligami harus membuktikan memiliki penghasilan cukup untuk membiayai para istri dan anak, serta berkomitmen berlaku adil. Persyaratan ini sejalan dengan prinsip dalam hukum Islam yang menyebutkan bahwa poligami diperbolehkan jika keadilan dapat ditegakkan. Namun, dalam praktiknya, keadilan sering kali menjadi tantangan terbesar, baik secara emosional maupun material.  

Kritik Masyarakat

Meskipun aturan ini terlihat logis di atas kertas, implementasinya memunculkan sejumlah pertanyaan dan tantangan. Salah satunya adalah bagaimana memastikan persetujuan istri diberikan tanpa tekanan. Dalam budaya patriarki, perempuan sering kali merasa sulit untuk menolak permintaan suami, meskipun dalam hati mereka mungkin menolak. Dalam hal ini, pengawasan yang lebih ketat dari pejabat yang berwenang menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut benar-benar tulus.  

Selain itu, persyaratan memiliki putusan pengadilan yang mengizinkan poligami menambah kompleksitas proses ini. Sebagai bagian dari upaya menjunjung hukum, langkah ini memang diperlukan. Namun, apakah sistem pengadilan memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani kasus semacam ini dengan cepat dan efisien? Jika tidak, prosesnya bisa menjadi berlarut-larut dan menimbulkan frustrasi di pihak pemohon.  

Dari sisi moralitas, banyak pihak yang mengkritisi relevansi poligami dalam kehidupan modern. Dalam dunia yang semakin menjunjung tinggi kesetaraan gender, poligami dianggap oleh sebagian orang sebagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Meskipun hukum agama dan negara mengizinkannya, norma sosial dan nilai-nilai etika sering kali menolak praktik ini. Pergub ini, meskipun tidak melarang poligami, secara tidak langsung mencerminkan sikap hati-hati terhadap isu tersebut dengan menetapkan persyaratan yang ketat.  

Potensi Penyalahgunaan dan Sanksi Disiplin

Salah satu poin penting dalam Pergub ini adalah penegasan sanksi bagi ASN yang melanggar aturan. Jika seorang ASN menikah tanpa izin resmi, ia akan dikenakan hukuman disiplin berat. Namun, apakah sanksi ini cukup untuk mencegah pelanggaran? Dalam beberapa kasus, sanksi berat justru tidak memberikan efek jera karena kurangnya pengawasan dan ketegasan dalam implementasi.  

Selain itu, ada potensi penyalahgunaan aturan ini. Misalnya, ASN mungkin mencoba memanipulasi kondisi atau dokumen untuk memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, sistem verifikasi yang transparan dan akuntabel menjadi krusial. Pejabat yang berwenang harus memiliki mekanisme yang ketat untuk memeriksa keabsahan dokumen dan alasan yang diajukan oleh pemohon.  

Dimensi Sosial dan Psikologis

Dampak poligami tidak hanya dirasakan oleh ASN yang melakukannya, tetapi juga oleh keluarga dan lingkungannya. Anak-anak, misalnya, mungkin mengalami tekanan emosional karena harus beradaptasi dengan dinamika keluarga yang berubah. Istri pertama juga sering kali menghadapi dilema psikologis, terutama jika ia merasa keputusan suaminya tidak adil atau tidak sesuai dengan ekspektasi pernikahan mereka.  

Dalam konteks profesional, poligami juga bisa memengaruhi kinerja ASN. Konflik internal dalam keluarga dapat merembet ke tempat kerja, mengurangi fokus dan produktivitas mereka. Oleh karena itu, Pergub ini tidak hanya menjadi instrumen hukum, tetapi juga sebagai langkah preventif untuk menjaga stabilitas emosional dan profesional ASN.  

Pengertian yang Lebih Luas

Pada akhirnya, Pergub Nomor 2 Tahun 2025 ini adalah refleksi dari upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan pribadi ASN dengan tanggung jawab mereka sebagai abdi negara. Regulasi ini menunjukkan bahwa meskipun poligami diperbolehkan, pelaksanaannya tidak bisa sembarangan. Ada norma hukum, etika, dan profesionalisme yang harus dijaga.  

Namun, regulasi saja tidak cukup. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang masif agar ASN memahami detail aturan ini dan implikasinya. Selain itu, perlu ada diskusi lebih lanjut tentang relevansi poligami di era modern. Apakah benar praktik ini masih relevan? Atau apakah ada cara lain untuk mengatasi masalah-masalah dalam pernikahan tanpa harus menambah istri?  

Dengan analisis dan pendekatan yang lebih holistik, Pergub ini dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan tata kelola kepegawaian yang lebih baik, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari negara.  

Pergub Nomor 2 Tahun 2025 bukan hanya sekadar aturan administratif. Ini adalah cerminan dari dinamika sosial, hukum, dan moralitas yang sedang berlangsung di Indonesia. Di satu sisi, regulasi ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi ASN. Di sisi lain, ia juga mengingatkan kita bahwa setiap keputusan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan pribadi, selalu memiliki dampak yang lebih luas.  

Dengan pelaksanaan yang tepat, regulasi ini bisa menjadi model bagi daerah lain dalam mengatur isu serupa. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita, sebagai masyarakat, terus belajar dan berkembang untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan harmonis bagi semua.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun