Israel, sebagai negara yang menguasai sebagian besar wilayah Palestina sejak Perang Arab-Israel 1948, terus memperluas permukiman ilegal di tanah Palestina, melanggar hukum internasional. Sementara itu, Hamas, yang menguasai Gaza sejak 2007, dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain. Kedua pihak saling memandang satu sama lain sebagai ancaman eksistensial, sehingga kesepakatan damai sulit dicapai tanpa adanya kompromi mendalam. Â
Selain itu, dinamika politik internal di kedua belah pihak juga turut memengaruhi keberhasilan gencatan senjata. Di Israel, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kerap menghadapi tekanan dari kelompok sayap kanan yang menginginkan sikap keras terhadap Hamas. Di sisi lain, Hamas juga menghadapi tantangan untuk menjaga legitimasi di mata warga Gaza yang terus menderita akibat blokade dan serangan Israel. Â
Dampak pada Warga Sipil
Di balik konflik ini, warga sipil Palestina di Gaza adalah pihak yang paling menderita. Mereka hidup dalam kondisi yang nyaris tidak manusiawi, dengan akses terbatas ke air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan. Ketika serangan Israel terjadi, mereka kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Â
Menurut data dari Al Jazeera, sejak serangan dimulai pada Rabu pagi, banyak warga Gaza yang terpaksa kembali berlindung di tenda-tenda pengungsian. Bagi mereka, kesepakatan gencatan senjata hanya menjadi kata-kata kosong yang tidak memiliki arti nyata di tengah ancaman bom dan peluru. Â
Di sisi lain, warga Israel juga hidup dalam bayang-bayang ketakutan terhadap serangan roket yang diluncurkan Hamas. Meskipun sistem pertahanan Iron Dome berhasil mencegat sebagian besar roket, ancaman tetap nyata bagi warga sipil di wilayah selatan Israel. Â
Peran Internasional dalam Konflik
Kesepakatan gencatan senjata kali ini tidak lepas dari upaya mediasi Qatar dan dukungan dari Amerika Serikat. Namun, apakah ini cukup untuk mengakhiri konflik? Â
Banyak pihak menilai bahwa peran internasional perlu lebih dari sekadar menjadi mediator. Negara-negara seperti Amerika Serikat, yang selama ini menjadi sekutu dekat Israel, memiliki pengaruh besar untuk menekan Tel Aviv agar menghentikan serangan ke Gaza dan menghormati kesepakatan damai. Â
Namun, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap konflik ini sering kali dianggap bias. Dukungan finansial dan militer yang terus mengalir ke Israel menjadi salah satu alasan mengapa Tel Aviv merasa memiliki kebebasan untuk melancarkan serangan meskipun ada tekanan internasional. Â
Di sisi lain, negara-negara Arab juga memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung Palestina. Meski beberapa negara telah menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain, solidaritas terhadap rakyat Palestina tetap menjadi isu utama yang harus diperjuangkan bersama. Â