Filsuf seperti "John Locke", "George Berkeley", dan "David Hume" adalah tokoh-tokoh penting yang mengembangkan pandangan empiris. Locke berpendapat bahwa kita dilahirkan seperti "tabula rasa" atau papan kosong, yang berarti bahwa kita tidak memiliki pengetahuan bawaan sejak lahir. Semua pengetahuan kita, menurut Locke, berasal dari pengalaman yang kita kumpulkan melalui indera kita. Locke membagi pengalaman ini menjadi dua jenis: sensasi, yaitu apa yang kita terima melalui indera kita, dan refleksi, yaitu pemikiran kita tentang sensasi tersebut.
David Hume, salah satu filsuf empiris yang lebih terkenal, mengambil pandangan yang lebih radikal. Hume berpendapat bahwa segala bentuk pengetahuan yang kita miliki adalah hasil dari kebiasaan dan asosiasi antara ide-ide yang kita terima melalui indera kita. Bahkan, Hume skeptis terhadap konsep-konsep seperti "kausalitas", yakni konsep bahwa satu kejadian dapat menyebabkan kejadian lainnya, karena ia berpendapat bahwa kita tidak dapat benar-benar mengetahui hubungan kausal ini melalui pengamatan langsung. Kita hanya mempelajari pola dari pengalaman kita, bukan hubungan sebab akibat yang pasti.
Empirisisme mengajukan bahwa pengetahuan kita tentang dunia adalah produk langsung dari pengalaman inderawi, dan dengan demikian, dunia ini hanya bisa kita pahami sejauh kita bisa merasakannya atau mengamatinya. Pandangan ini sangat mendasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern, yang bergantung pada pengamatan dan eksperimen untuk memperoleh pengetahuan yang sah.
Namun, empirisisme juga menghadapi sejumlah kritik. Misalnya, ia tidak bisa menjelaskan banyak aspek pengetahuan yang tidak langsung terkait dengan pengalaman inderawi, seperti pengetahuan tentang matematika seperti konsep-konsep abstrak lainnya yang tidak dapat diamati langsung melalui indera kita. Misalnya, dalam ilmu matematika atau logika, kita memiliki pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman fisik atau inderawi, tetapi lebih kepada pemikiran murni dan deduksi logis. Inilah salah satu kritik terhadap pandangan empiris: tidak semua pengetahuan yang valid dapat dijelaskan hanya melalui pengalaman.
Epistemologi Kritis
Di sisi lain, "epistemologi kritis" mencoba untuk mengkritisi dan menilai pengetahuan yang ada. Aliran ini tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh pengalaman atau rasio, tetapi juga mempertanyakan bagaimana kekuatan sosial, politik, dan budaya membentuk cara kita mengetahui dunia. Pemikiran kritis ini sering dikaitkan dengan "Karl Marx" dan pemikir-pemikir postmodern, yang berpendapat bahwa pengetahuan tidaklah netral, yakni ia dibentuk oleh konteks sosial dan kekuasaan yang ada.
"Michel Foucault", misalnya, mengemukakan bahwa pengetahuan tidak hanya didasarkan pada kebenaran universal yang bersifat objektif, tetapi juga berhubungan erat dengan praktik-praktik kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Foucault menyarankan bahwa "pengetahuan" sering kali digunakan untuk mengendalikan dan mendominasi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Pengetahuan, menurutnya, adalah bagian dari struktur kekuasaan yang lebih luas.
Selain itu, "Immanuel Kant" dalam karyanya "Critique of Pure Reason" menawarkan pendekatan yang berusaha menjembatani rasionalisme dan empirisisme. Kant berpendapat bahwa meskipun pengetahuan dimulai dari pengalaman (seperti yang diajarkan oleh empirisisme), ia tidak hanya bergantung pada pengalaman. Kant percaya bahwa pikiran kita juga memainkan peran aktif dalam membentuk pengetahuan. Ia mengemukakan bahwa kita memiliki "kategori-kategori a priori", seperti ruang, waktu, dan kausalitas, yang memungkinkan kita untuk memahami pengalaman dan dunia di sekitar kita. Dengan demikian, pengetahuan adalah hasil interaksi antara pengalaman indrawi dan struktur mental yang ada dalam pikiran kita.
Mengevaluasi Pengetahuan
Dengan memahami berbagai pandangan epistemologis ini, kita dapat mulai merenung tentang apa yang sebenarnya dapat kita ketahui dan bagaimana kita bisa tahu bahwa pengetahuan kita itu sah. Meskipun rasionalisme, empirisisme, dan epistemologi kritis menawarkan pandangan yang berbeda, mereka semua berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting: bagaimana kita bisa memiliki keyakinan bahwa apa yang kita ketahui adalah benar?
Pada kenyataannya, tidak ada pendekatan tunggal yang dapat sepenuhnya menjawab pertanyaan ini. Setiap aliran epistemologi menawarkan cara yang berbeda untuk memperoleh pengetahuan, dan masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Apa yang dapat kita pelajari dari ini adalah bahwa pengetahuan itu adalah proses yang tidak pernah selesai. Kita terus menguji, memverifikasi, dan bahkan meragukan pengetahuan kita. Dalam dunia yang penuh dengan informasi yang beragam dan sering kali bertentangan, penting bagi kita untuk memiliki kemampuan untuk mengevaluasi sumber-sumber pengetahuan secara kritis.