Dalam diskursus politik modern, kebijakan pertahanan yang dijalankan oleh Prabowo Subianto bisa dianggap sebagai langkah progresif untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika geopolitik. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, kebijakan-kebijakan ini memiliki kemiripan struktural, bahkan ideologis, dengan strategi yang dijalankan Adolf Hitler pada masa kekuasaan Nazi Jerman. Apakah ini sekadar kebetulan historis, ataukah ada upaya sadar untuk meniru model pembangunan militer otoritarian?
Dengan segala kontroversi yang melingkupi kebijakan ini, muncul kekhawatiran serius bahwa Indonesia bisa terperosok dalam dilemma of power, ketika penguatan militer demi menjaga stabilitas justru menciptakan ketidakstabilan baru, baik di dalam maupun luar negeri. Terlebih lagi, ancaman perang di kawasan Pasifik semakin nyata dengan meningkatnya tensi antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China. Â
Kebijakan Modernisasi Alutsista dan Geopolitik Militer
Prabowo tampak begitu ambisius dalam menjalankan modernisasi alutsista. Program ini mencakup pengadaan radar, sistem pengawasan jarak jauh, dan peningkatan kemampuan siber. Di atas kertas, langkah ini terlihat seperti upaya logis untuk memastikan Indonesia siap menghadapi ancaman kontemporer. Namun, pola ini mengingatkan kita pada kebijakan rearmament yang dijalankan Hitler di awal kepemimpinannya.
Setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I, Perjanjian Versailles membatasi kekuatan militer mereka. Hitler kemudian menggunakan rearmament sebagai alat untuk membangun kembali supremasi Jerman, secara rahasia pada awalnya, lalu secara terbuka. Kebijakan ini tidak hanya memodernisasi militer tetapi juga menciptakan ketergantungan besar pada industri pertahanan domestik. Prabowo, meskipun dalam konteks berbeda, tampaknya mengikuti narasi serupa, yaitu menggunakan modernisasi militer sebagai simbol kekuatan nasional.
Namun, apakah modernisasi ini benar-benar untuk mempertahankan kedaulatan atau ada agenda tersembunyi yang lebih ambisius? Dalam sejarah, modernisasi alutsista sering kali menjadi langkah awal untuk ekspansi kekuasaan, terutama jika pemerintah mulai merasa bahwa militernya adalah solusi untuk setiap permasalahan geopolitik.
 Komponen Cadangan, Bertujuan Bela Negara atau Militerisasi Masyarakat?
Prabowo memperkenalkan konsep Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam pertahanan negara. Kebijakan ini sekilas tampak progresif, tetapi jika kita mengacu pada sejarah Jerman Nazi, ada pola yang mirip. Hitler menggunakan program seperti Hitler Youth dan organisasi paramiliter untuk menanamkan ideologi sekaligus mempersiapkan generasi muda Jerman sebagai pendukung perang.
Kebijakan Prabowo mungkin belum sampai pada tahap ideologis seperti yang dijalankan Hitler, tetapi potensi militarisasi masyarakat tidak dapat diabaikan. Ketika garis antara militer dan sipil mulai kabur, muncul risiko penyalahgunaan kekuatan oleh negara. Menjadi pertanyaan di benak saya, apakah program Bela Negara benar-benar bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan, ataukah ini adalah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang sepenuhnya tunduk pada agenda negara?
 Penguatan Industri Pertahanan dan Strategi Kemandirian atau Otoritarianisme.
Penguatan industri pertahanan domestik melalui BUMN seperti Pindad, PT DI, dan PT PAL sering dielu-elukan sebagai langkah menuju kemandirian. Namun, ada kemiripan yang mencolok dengan strategi Hitler, yang memanfaatkan industri besar seperti Krupp dan Messerschmitt untuk memproduksi senjata dan kendaraan perang.
Di bawah Hitler, industri pertahanan menjadi alat kontrol negara atas ekonomi. Perusahaan yang terlibat dalam produksi militer mendapatkan keuntungan besar tetapi harus tunduk pada agenda Nazi. Jika tidak diawasi dengan ketat, kebijakan Prabowo bisa mengarah pada situasi serupa, di mana industri pertahanan menjadi "raja baru" yang kebal dari kritik dan transparansi maupun akuntabilitas publik.
 Dilemma of Power dam Penguatan Militer.
Kebijakan Prabowo menghadirkan dilemma of power. Di satu sisi, penguatan militer dianggap perlu untuk menjaga stabilitas di kawasan Indo-Pasifik. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kekuatan militer yang berlebihan justru memicu ketidakstabilan.
Jerman Nazi adalah contoh nyata. Modernisasi militer mereka menciptakan ketakutan di kalangan negara-negara tetangga, yang pada akhirnya mempercepat Perang Dunia II. Dalam konteks Indonesia, modernisasi yang agresif berpotensi memprovokasi negara-negara lain di kawasan, terutama di tengah ketegangan antara AS dan China. Apakah kita benar-benar siap menghadapi risiko ini?
 Indonesia di Tengah Pertarungan Kekuatan Raksasa.
Kawasan Indo-Pasifik semakin menjadi arena persaingan geopolitik antara AS dan China. Dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan dan perdebatan tentang kebebasan navigasi, Indonesia berada di posisi strategis tetapi juga rentan. Kebijakan pertahanan Prabowo yang berfokus pada penguatan maritim dan siber tampaknya dirancang untuk menghadapi ancaman ini.
Namun, ada kekhawatiran bahwa langkah ini bisa menyeret Indonesia ke dalam konflik besar. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan dalam aliansi militer atau persaingan kekuatan besar sering kali merugikan negara-negara kecil. Apakah Prabowo benar-benar memiliki strategi untuk menjaga netralitas Indonesia, ataukah kita secara perlahan akan terjebak dalam konflik yang bukan milik kita?
Bagi saya, Kebijakan pertahanan Prabowo Subianto memiliki kesamaan yang mencolok dengan langkah-langkah yang diambil oleh Adolf Hitler. Meskipun konteks dan tujuannya berbeda, pola-pola seperti modernisasi militer, mobilisasi masyarakat, dan penguatan industri pertahanan mencerminkan jejak strategi Jerman Nazi.
Yang perlu diwaspadai adalah potensi dampak dari kebijakan ini. Dalam upaya memperkuat posisi Indonesia, ada risiko bahwa penguatan militer yang agresif justru memicu ketegangan regional, mengancam demokrasi domestik, dan membawa kita ke dalam konflik yang merugikan.
Menutup kesimpulan dengan sebuah pertanyaan, apakah kebijakan ini benar-benar untuk menjaga kedaulatan Indonesia, ataukah ini adalah langkah awal menuju model kekuasaan yang lebih otoriter? Dalam dunia yang semakin kompleks, kekuatan militer bukanlah satu-satunya jawaban. Sebaliknya, diplomasi yang cerdas dan penguatan institusi sipil mungkin menjadi solusi yang lebih bijaksana. Jika kita tidak berhati-hati, langkah-langkah ini bisa menjadi bumerang yang membawa kita ke jalan yang tidak pernah kita inginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H