Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksistensialisme, Perihal Kebebasan dan Pencarian Makna Hidup.

15 Desember 2024   23:54 Diperbarui: 15 Desember 2024   23:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para tokoh pemikir Eksistensialis; Kierkgard, Nietzsche, Sartre, Hamdi, Heidegger, dan Camus (Image source: brzesko.pl)

Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang paling manusiawi, karena ia berbicara langsung kepada pengalaman kita sebagai individu yang mencari makna dilalam kehidupan di dunia yang sering kali terasa absurd, dan pelik untuk dipahami secara rasional. Ia tidak memberikan jawaban yang pasti atau universal, tetapi pemikiran ini juga justru menantang kita untuk menemukan makna hidup kita sendiri, menghadapi kebebasan yang luas, dan menanggung beban tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita. Pemikir-pemikir seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir telah menjabarkan pemikirannya dalam tema-tema ini dengan mendalam, mengajarkan kita bahwa hidup adalah sebuah proses penciptaan, bukan sekadar penemuan.

Kebebasan yang Membebani  

Dalam inti eksistensialisme, ada gagasan bahwa manusia adalah makhluk bebas. Kebebasan ini bukan sekadar kemampuan untuk memilih, tetapi kebebasan eksistensial yang lebih dalam, manusia tidak dilahirkan dengan tujuan atau esensi tertentu. Sebaliknya, manusia harus menciptakan esensinya sendiri melalui tindakan dan pilihan. Jean-Paul Sartre, salah satu pemikir utama yang paling populer di aliran eksistensialisme, menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi." Artinya, kita ada terlebih dahulu, dan baru kemudian menentukan siapa kita melalui tindakan kita. Tidak ada takdir atau cetak biru ilahi yang menentukan hidup kita. kita adalah penulis utama dari cerita kita sendiri.

  Namun, kebebasan ini bukan tanpa beban. Sartre berbicara tentang l'angoisse atau kecemasan eksistensial, yang muncul ketika kita menyadari bahwa tidak ada otoritas eksternal yang bisa memberi kita jawaban pasti. Kita benar-benar bebas, tetapi kebebasan ini juga menakutkan karena berarti kita sepenuhnya bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan dengan hidup kita. Bayangkan berdiri di puncak tebing yang curam. Tidak ada yang memaksa kita untuk melompat, tetapi gagasan bahwa kita bisa melompat kapan saja menimbulkan rasa takut. Begitulah cara Sartre menggambarkan kebebasan manusia: menakutkan, tetapi juga penuh potensi.

 Makna Hidup di Dunia yang penuh Ambiguitas

Eksistensialisme lahir dari pengakuan bahwa dunia ini tidak memiliki makna bawaan. Ini bukan pandangan pesimistis, tetapi lebih merupakan kenyataan bahwa hidup tidak datang dengan panduan. Dunia sering kali terasa absurd karena kita, sebagai manusia yang mencari arti, hidup dalam alam semesta yang tidak memberikan jawaban. Albert Camus, meskipun tidak sepenuhnya mengidentifikasi dirinya sebagai eksistensialis, berbicara tentang absurditas ini dalam karyanya. Baginya, absurditas muncul dari kontras antara kebutuhan manusia akan makna dan keheningan alam semesta. Namun, Camus tidak menyerukan keputusasaan. Sebaliknya, ia menantang kita untuk merangkul absurditas dan hidup dengan keberanian, menciptakan makna kita sendiri meskipun dunia tidak memberikannya.

Jean-Paul Sartre setuju dengan gagasan ini, tetapi ia menekankan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang kita ciptakan melalui tindakan kita. Tidak ada makna universal yang dapat kita temukan; setiap orang harus menentukan maknanya sendiri. Sartre menggambarkan ini dalam novel-novelnya, seperti Nausea, di mana protagonisnya berjuang melawan rasa hampa dan absurditas, tetapi akhirnya menerima kebebasan untuk menciptakan hidupnya sendiri. Simone de Beauvoir, pasangan dan rekan intelektual Sartre, memperluas gagasan ini dengan menyoroti bahwa makna hidup juga ditemukan dalam hubungan kita dengan orang lain. Baginya, kebebasan bukan hanya hak individu, tetapi juga tanggung jawab untuk menghormati kebebasan orang lain. Dalam bukunya, The Ethics of Ambiguity, de Beauvoir menunjukkan bahwa kita hidup dalam dunia yang ambigu, di mana tidak ada jawaban yang mutlak, tetapi kita harus terus berusaha untuk menciptakan kehidupan yang bermakna, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.

Moral dan Tanggung Jawab Individual

Dalam kebebasan yang eksistensial, ada tanggung jawab yang besar. Sartre menyebut ini sebagai mauvais foi atau "itikad buruk," yaitu ketika seseorang mencoba melarikan diri dari tanggung jawabnya dengan menyalahkan orang lain, takdir, atau keadaan. Misalnya, seseorang yang merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak disukainya tetapi mengatakan, "Saya tidak punya pilihan," sebenarnya sedang menyangkal kebebasannya untuk memilih. Sartre berargumen bahwa tidak ada situasi di mana kita benar-benar tanpa pilihan. Bahkan ketika kita terikat oleh keadaan yang sulit, kita tetap memiliki kebebasan untuk merespons keadaan tersebut. Tindakan melarikan diri dari tanggung jawab ini adalah bentuk penyangkalan terhadap kebebasan kita sendiri.

Sebaliknya, eksistensialisme mendorong kita untuk menghadapi kebebasan kita dengan keberanian. Ini berarti menerima bahwa setiap tindakan kita memiliki konsekuensi, baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Simone de Beauvoir menekankan bahwa kebebasan sejati tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial. Dalam The Second Sex, ia mengeksplorasi bagaimana perempuan sering kali dibuat merasa tidak bebas oleh struktur sosial patriarki, tetapi juga bagaimana mereka dapat meraih kebebasan melalui tindakan dan solidaritas.

 Pilihan Etis dalam Kehidupan Sehari-hari

Eksistensialisme tidak hanya relevan dalam filsafat abstrak, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang, meskipun tampaknya kecil, mencerminkan nilai-nilai kita dan membentuk siapa kita. Misalnya, bayangkan seseorang yang melihat seorang tunawisma di jalan. Ia memiliki kebebasan untuk memberikan bantuan atau mengabaikan orang tersebut. Keputusannya tidak hanya mencerminkan siapa dia pada saat itu, tetapi juga membentuk dirinya di masa depan. Sartre percaya bahwa setiap tindakan kita adalah pernyataan tentang apa yang kita anggap penting dalam hidup.

Namun, pilihan etis tidak selalu jelas atau mudah. Dunia ini penuh dengan ambiguitas, seperti yang ditekankan de Beauvoir. Dalam situasi tertentu, tidak ada jawaban yang sepenuhnya benar atau salah. Dalam ambiguitas inilah kita diuji sebagai individu yang bebas dan bertanggung jawab. Meskipun eksistensialisme sering dikritik sebagai filsafat yang terlalu individualistis, ia juga memiliki dimensi sosial yang kuat.

Simone de Beauvoir, misalnya, menggunakan gagasan eksistensialis untuk mendukung perjuangan feminisme. Baginya, kebebasan individu tidak berarti apa-apa jika tidak ada kebebasan kolektif. De Beauvoir menunjukkan bahwa penindasan, baik itu dalam bentuk patriarki, kolonialisme, atau kapitalisme, adalah pelanggaran terhadap kebebasan eksistensial manusia. Oleh karena itu, perjuangan melawan penindasan adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai individu yang bebas. Sartre juga menekankan pentingnya solidaritas dalam bukunya Critique of Dialectical Reason. Ia mengakui bahwa kebebasan kita saling terkait, dan bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Eksistensialisme mengajarkan bahwa hidup adalah proyek yang selalu terbuka untuk diubah. Tidak ada takdir yang mengikat kita, tidak ada makna yang diberikan dari luar. Semua ini harus kita ciptakan sendiri melalui tindakan, pilihan, dan tanggung jawab. Dalam dunia yang sering kali terasa absurd dan penuh ketidakpastian, eksistensialisme memberikan penghiburan yang unik. Ia tidak menawarkan jawaban yang mudah, tetapi ia memberi kita kebebasan untuk menjadi diri kita yang sejati. Sartre, de Beauvoir, dan para eksistensialis lainnya mengingatkan kita bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan, ia juga penuh dengan potensi.

Kebebasan mungkin menakutkan, tetapi ia adalah inti dari kemanusiaan kita. Dan dalam kebebasan ini, kita menemukan kesempatan untuk menciptakan makna, menemukan tujuan, dan menghadapi dunia dengan keberanian. Eksistensialisme, pada akhirnya, adalah panggilan untuk hidup secara autentik---untuk menerima kenyataan bahwa kita sendirilah yang harus membuat hidup ini berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun