Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ketika Kehilangan Mengajarkan Kita, dalam Film "Bila Esok Ibu Telah Tiada" (2024)

3 Desember 2024   05:30 Diperbarui: 3 Desember 2024   06:20 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari novel best-seller karya Nagiga Nur Ayati ke layar lebar, Bila Esok Ibu Telah Tiada garapan Leo Pictures hadir dengan janji menyentuh hati penonton. Film ini adalah gambaran kehidupan yang penuh dinamika dalam sebuah keluarga sederhana, dibalut kisah cinta seorang ibu kepada anak-anaknya yang tak lekang oleh waktu. Dengan deretan aktor ternama seperti Christine Hakim, Fedi Nuril, Amanda Manopo, Adinia Wirasti, dan Yasmin Napper, film ini berhasil menyampaikan cerita penuh emosi yang dekat dengan realitas.  

Pembuka yang Hangat dan Mengiris Hati 

Film dimulai dengan adegan dimana Rahmi (diperankan oleh Christine Hakim) menyiapkan sarapan di dapur kecilnya. Cahaya pagi yang menyelinap masuk melalui jendela menyorot kerut wajah Rahmi, tanda tahun-tahun yang telah ia lalui sebagai seorang ibu tunggal. Adegan ini menggambarkan keseharian Rahmi dengan empat anaknya Ranika (Adinia Wirasti), Rangga (Fedi Nuril), Rania (Amanda Manopo), dan Hening (Yasmin Napper).  

Sang suami, Haryo, telah lama tiada, meninggalkan Rahmi untuk mengarungi kerasnya hidup seorang diri. Namun, Rahmi bukanlah wanita yang mudah menyerah. Dengan cinta yang tak bersyarat, ia merelakan segalanya demi kebahagiaan anak-anaknya. Adegan awal ini menghangatkan hati sekaligus memunculkan rasa haru, memperkenalkan kita pada dinamika keluarga ini yang tampak bahagia, meski sebenarnya menyimpan konflik yang dalam.  

Penggambaran karakter yang kuat dari Christine Hakim 

Christine Hakim sebagai Rahmi adalah jiwa dari film ini. Dengan aktingnya yang mendalam, ia membawa kita masuk ke dunia seorang ibu yang penuh pengorbanan. Tatapan matanya yang sayu, senyumnya yang tulus, hingga kebisuan di tengah konflik anak-anaknya, semuanya terasa begitu nyata. Christine tidak hanya memerankan Rahmi, ia adalah Rahmi, seorang ibu yang rela mengorbankan kesejahteraannya demi memastikan anak-anaknya memiliki masa depan yang cerah.  

Namun, semakin film berjalan, kita melihat kelelahan emosional Rahmi. Bukan hanya fisik, tetapi juga batin, terutama ketika anak-anaknya mulai sibuk dengan hidup masing-masing. Ketika Ranika, si sulung, mulai mengambil peran sebagai "kepala keluarga," Rahmi harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kasih sayang yang ia tanam seolah tak lagi dihargai.  

Konflik Keluarga yang Relatable

Film ini dengan jujur menggambarkan hubungan kompleks antara saudara. Ranika, sebagai anak sulung, merasa memikul tanggung jawab besar setelah kepergian ayahnya. Perannya sebagai tulang punggung keluarga sering kali membuatnya bersikap otoriter terhadap adik-adiknya. Sementara itu, Rangga, si anak kedua, berjuang dengan perasaannya yang terjebak di antara tanggung jawab dan mimpi pribadinya.  

Rania, anak ketiga, adalah gambaran anak muda yang penuh ambisi namun sering kali abai terhadap kebutuhan emosional keluarga. Dan Hening, si bungsu, dengan kepolosannya, menjadi cerminan suara hati yang sering terabaikan. Setiap konflik yang muncul di antara mereka terasa sangat nyata, mungkin penonton bahkan bisa melihat bayangan keluarga mereka sendiri dalam cerita ini.  

Dialog-dialog yang ditulis dengan cermat menjadi kekuatan film ini. Tak ada kesan dramatisasi berlebihan; semuanya mengalir seperti percakapan sehari-hari yang menyentuh inti hubungan keluarga.  

 Menggugah Perasaan Penonton

Penggarapan visual film ini memperkuat emosi yang ingin disampaikan. Sutradara Leo Pictures menggunakan palet warna hangat untuk menggambarkan keintiman keluarga, sementara nuansa gelap dan bayangan kuat digunakan saat konflik memuncak. Musik latar yang lembut namun menghantui menambah kedalaman emosi, terutama dalam adegan-adegan di mana Rahmi berjuang seorang diri di tengah keheningan rumahnya.  

Salah satu adegan yang paling membekas adalah ketika Rahmi diam-diam menulis surat kepada anak-anaknya di meja makan. Dengan suara narasi Rahmi yang bergetar, surat itu berisi harapan dan cinta yang tulus, seolah menjadi pesan terakhir seorang ibu kepada anak-anaknya. Adegan ini begitu sederhana, namun mampu menguras air mata.  

Ketika Kehilangan Menjadi Guru Terbaik

Puncak cerita adalah momen yang telah diprediksi sejak awal yaitu kepergian Rahmi. Namun, film ini tidak sekadar menghadirkan kehilangan sebagai tragedi. Sebaliknya, ia menggambarkan bagaimana kematian bisa menjadi guru terbaik bagi mereka yang ditinggalkan.  

Keempat saudara yang sebelumnya terpecah belah mulai merenungi kesalahan mereka. Ranika belajar bahwa menjadi pemimpin keluarga bukan berarti memaksakan kehendak. Rangga menemukan keberanian untuk mengejar mimpinya tanpa melupakan tanggung jawab. Rania mulai memahami arti dari kehadiran keluarga, sementara Hening, dengan kepolosannya, menjadi pengikat yang menyatukan mereka kembali.  

Momen ini disampaikan dengan lembut, tanpa terkesan memaksa penonton untuk merasa sedih. Sebaliknya, ia memberikan ruang bagi penonton untuk merenung tentang hubungan mereka sendiri dengan orang tua dan saudara.  

Keistimewaan dari film "Bila Esok Ibu Telah Tiada" bukan sekadar film drama keluarga biasa. Film ini adalah adalah surat cinta untuk semua ibu yang pernah mengorbankan segalanya demi anak-anaknya. Dengan cerita yang penuh emosi, akting yang kuat, dan sinematografi yang menggugah, film ini berhasil menjadi cerminan kehidupan sehari-hari yang dekat dengan hati banyak orang.  

Film ini mengingatkan kita akan pentingnya menghargai keberadaan seorang ibu, tidak hanya setelah kepergiannya, tetapi selama ia masih ada di samping kita. Sebuah pelajaran berharga yang disampaikan dengan kejujuran dan ketulusan.  

Jika ada satu pesan yang bisa dibawa pulang dari film ini, itu adalah: cinta seorang ibu adalah anugerah terbesar yang pernah kita miliki. Jangan pernah menyia-nyiakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun