Meninggalnya Benny Laos, calon gubernur Maluku Utara, dalam kebakaran kapal cepat di Pulau Taliabu pada Sabtu, 12 Oktober 2024, bukan hanya menjadi tragedi yang mendalam bagi keluarga dan masyarakat Maluku Utara, tetapi juga menghadirkan tantangan besar bagi jalannya Pemilihan Gubernur (Pilgub) di provinsi tersebut.Â
Insiden ini membawa dampak yang signifikan terhadap proses demokrasi yang sedang berlangsung, terutama bagi partai pengusung Benny Laos dan Sarbin Sehe. Saya akan membahas bagaimana peristiwa ini mempengaruhi politik lokal, apa yang sebenarnya terjadi, dan apa langkah yang perlu diambil ke depan.
Sabtu siang, kapal cepat Bella 72 yang mengangkut Benny Laos dan rombongan terbakar di Pelabuhan Regional Bobong, Pulau Taliabu. Kebakaran tersebut mengakibatkan kematian enam orang, termasuk Benny Laos sendiri. Menurut laporan, kebakaran terjadi ketika kru kapal sedang mengisi bahan bakar, meskipun mesin dan perangkat elektronik lainnya seperti kompor listrik dan genset masih dalam kondisi menyala. Hal ini memicu ledakan yang akhirnya membakar hampir separuh badan kapal.
Peristiwa ini memperingatkan kita soal bahaya yang sering kali tidak diindahkan ketika prosedur keselamatan diabaikan. Menurut Wakil Kepala Kepolisian Resor Pulau Taliabu, Sirajudin, sebelum ledakan terjadi, ia sempat mengingatkan kru kapal untuk berhati-hati selama proses pengisian bahan bakar. Namun, nasihat itu terlambat. Lima menit setelah Sirajudin meninggalkan kapal, ledakan terjadi, menewaskan Benny dan lima orang lainnya.
Tragedi ini meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga korban, partai pengusung, dan para pendukung Benny Laos. Sebagai seorang tokoh penting di Maluku Utara, Benny telah memberikan kontribusi besar selama menjabat sebagai Bupati Kepulauan Morotai dari 2017 hingga 2022. Karir politiknya yang cemerlang tampak terhenti oleh kecelakaan tragis ini, memaksa masyarakat Maluku Utara untuk menghadapi ketidakpastian politik menjelang Pilgub 2024.
Dalam konteks politik, meninggalnya seorang calon dalam masa kampanye memiliki implikasi yang serius. Menurut Reni Banjar, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku Utara, partai pengusung memiliki waktu paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara untuk mengganti calon yang berhalangan tetap atau meninggal dunia. Ini berarti, partai pengusung Benny Laos, yang terdiri dari koalisi delapan partai, harus segera menemukan pengganti sebelum 27 Oktober 2024.
Proses penggantian calon ini tidaklah sederhana. Partai koalisi harus melalui beberapa tahapan, termasuk mengajukan calon pengganti dalam waktu tujuh hari setelah calon dinyatakan meninggal dunia, dan KPU memiliki waktu tiga hari untuk memverifikasi seluruh kelengkapan administrasi. Meskipun tampaknya ada cukup waktu, ketidakpastian ini menambah kompleksitas yang sudah ada dalam proses Pilgub, terutama bagi partai pengusung Benny Laos-Sarbin Sehe, yang kini harus mencari figur pengganti yang memiliki daya tarik politik dan elektabilitas yang setara.
Rapat internal partai koalisi pengusung Benny Laos telah diadakan untuk membahas siapa yang akan menjadi penggantinya. Nama-nama calon pengganti akan diusulkan dan dibawa ke Jakarta untuk berkonsultasi dengan keluarga Benny Laos. Keterlibatan keluarga dalam proses ini, terutama persetujuan istri almarhum Benny, Sherly Tjoanda, menjadi elemen penting dalam memastikan bahwa pengganti yang diajukan mendapat restu keluarga.
Namun, proses ini juga memperlihatkan kerentanan demokrasi di Indonesia. Ketika seorang kandidat yang diusung oleh koalisi besar partai meninggal dunia, partai-partai harus segera merespons dan beradaptasi dengan situasi baru. Ini juga membuka ruang bagi perdebatan mengenai stabilitas politik dan proses penggantian calon yang terkadang terlihat pragmatis daripada substantif.
Meninggalnya Benny Laos tidak hanya berdampak pada proses pemilihan, tetapi juga menimbulkan tantangan politik dan hukum. Salah satu tantangan utama adalah pencetakan logistik pemilu, termasuk surat suara yang harus menampilkan nama calon pengganti.Â