Pada 10 Oktober 2024 kemarin, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta seharusnya membacakan putusan gugatan yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Namun, pembacaan putusan itu ditunda hingga 24 Oktober 2024 dengan alasan ketua majelis hakim, Joko Setiono, sedang sakit. Penundaan ini menjadi perhatian, tidak hanya karena kepentingan politik yang terlibat dalam kasus ini, tetapi juga karena spekulasi mengenai alasan penundaan putusan ini.
Dalam politik di Indonesia yang penuh dinamika, kasus ini menjadi salah satu peristiwa penting yang bisa mempengaruhi arus politik nasional, terutama karena Gibran, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), menjadi salah satu aktor penting dalam kontestasi pemilihan presiden 2024. Penundaan putusan ini membuka ruang untuk berbagai spekulasi mengenai apakah alasan yang dikemukakan, yaitu sakitnya hakim, benar-benar valid, atau ada unsur lain yang lebih politis di balik penundaan putusan ini.
PDIP, sebagai salah satu partai besar yang selama dua periode berturut-turut mendominasi pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi, kini berada di persimpangan jalan. Gibran, yang merupakan putra Jokowi, ditetapkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Keputusan ini sebelumnya telah menimbulkan protes keras dari internal pihak PDIP, partai yang selama ini mengusung Jokowi dan memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia. Gugatan PDIP terhadap KPU terkait isu legalitas pencalonan Gibran, yang mereka anggap melanggar aturan, terutama terkait dengan syarat usia minimum untuk menjadi calon wakil presiden.
Dalam gugatan tersebut, PDIP berpendapat bahwa KPU telah melanggar ketentuan konstitusional karena menetapkan Gibran sebagai calon wakil presiden, meskipun usianya belum memenuhi persyaratan yang diatur dalam undang-undang. Menurut Undang-Undang Pemilu, seorang calon wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun. Pada saat pencalonan, Gibran berusia 37 tahun, yang membuat PDIP beranggapan bahwa pencalonannya melanggar konstitusi. PDIP menilai bahwa KPU tidak seharusnya menetapkan Gibran sebagai cawapres karena ketidaksesuaian usia ini.
Tim hukum PDIP, yang dipimpin oleh Dave Surya, telah mengajukan berbagai bukti yang mendukung klaim mereka. Mereka menyatakan bahwa semua argumen hukum yang mereka ajukan telah dibuktikan dalam persidangan, baik melalui pemeriksaan ahli maupun saksi fakta. Namun, minimnya perhatian media dan publik terhadap kasus ini menjadi salah satu kekhawatiran utama mereka. Dalam pernyataannya, Dave Surya menyayangkan kurangnya perhatian publik terhadap gugatan ini, padahal menurutnya, kasus ini memiliki dampak besar terhadap demokrasi dan tata hukum di Indonesia.
Penundaan pembacaan putusan karena ketua majelis hakim yang sakit menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik dan pengamat politik. Herdiansyah Hamzah, seorang akademisi hukum, menyatakan bahwa alasan sakitnya hakim harus benar-benar diverifikasi. Menurutnya, tidak boleh ada keraguan terkait alasan tersebut, terutama mengingat konteks politik yang sensitif dalam kasus ini. "Apakah betul-betul karena hakimnya sakit, sehingga putusan itu ditunda?" ujarnya. Jika penundaan putusan didasarkan pada alasan yang tidak jelas atau bahkan dipengaruhi oleh kepentingan politik, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Herdiansyah juga menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa penundaan ini bertujuan untuk menjaga agar tidak ada gangguan terhadap proses pelantikan Prabowo-Gibran pada 20 Oktober 2024. Penundaan hingga 24 Oktober, setelah pelantikan, dinilai sebagai langkah yang menghindari kemungkinan kekacauan politik yang dapat terjadi jika putusan dibacakan sebelum pelantikan. "Semua kemungkinan seperti ini juga mesti dikalkulasikan," tambahnya. Penundaan ini juga mengundang spekulasi bahwa ada upaya untuk menenangkan situasi politik dengan cara tidak membacakan putusan yang bisa memicu ketegangan sebelum pelantikan resmi berlangsung.
Masalah ini bukan sekadar soal persaingan politik antara PDIP dan KPU, atau antara PDIP dan koalisi Prabowo-Gibran. Putusan PTUN memiliki implikasi yang lebih luas terhadap legitimasi proses pemilihan umum di Indonesia. Jika PTUN memutuskan bahwa penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden melanggar undang-undang, hal ini dapat memicu ketidakstabilan politik yang signifikan. Terlebih lagi, jika putusan ini dikeluarkan sebelum pelantikan, maka status Gibran sebagai cawapres bisa dipertanyakan, yang akan mempengaruhi kelancaran proses pelantikan dan bahkan mungkin hasil pemilu itu sendiri.
Namun, jika PTUN pada akhirnya memutuskan bahwa pencalonan Gibran sah, meskipun ada perdebatan mengenai usia minimum, hal ini akan menimbulkan preseden baru dalam hukum pemilu Indonesia. Keputusan seperti ini akan menunjukkan bahwa aturan mengenai usia calon presiden dan wakil presiden dapat dilonggarkan atau diinterpretasikan secara fleksibel, tergantung pada konteks politik. Ini akan menjadi isu kontroversial yang dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilu di masa depan.
Dalam situasi politik yang sedang berkembang, putusan PTUN akan sangat menentukan arah demokrasi Indonesia. Keputusan untuk menunda pembacaan putusan hanya memperpanjang ketidakpastian yang ada. Bagi PDIP, penundaan ini bisa dilihat sebagai taktik untuk melemahkan posisi mereka dalam menyoal pencalonan Gibran. Sementara bagi KPU dan tim Prabowo-Gibran, penundaan ini bisa menjadi strategi untuk mengamankan posisi politik mereka hingga pelantikan selesai.
Salah satu poin yang diungkap oleh tim hukum PDIP adalah kurangnya perhatian dari media dan publik terhadap kasus ini. Dalam sistem demokrasi yang sehat, partisipasi dan perhatian publik terhadap proses hukum yang melibatkan pejabat publik sangat penting. Media, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki peran krusial dalam menyampaikan informasi yang objektif dan komprehensif mengenai proses hukum yang terjadi.
Namun, dalam kasus gugatan PDIP terhadap KPU, perhatian media tampaknya kurang memadai. Hal ini mencerminkan masalah yang lebih besar dalam budaya politik Indonesia, di mana isu-isu hukum yang melibatkan aktor politik sering kali tenggelam oleh berita sensasional lainnya. Minimnya perhatian terhadap gugatan ini mungkin disebabkan oleh kompleksitas kasus tersebut atau karena masyarakat lebih tertarik pada drama politik di balik pemilihan presiden 2024. Apapun alasannya, hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang sejauh mana media dan publik memainkan peran aktif dalam mengawasi proses hukum yang berpengaruh terhadap jalannya demokrasi.
Pada akhirnya, kasus ini menempatkan sistem hukum Indonesia di bawah perhatian tajam. Kesehatan sistem hukum tidak hanya diukur dari putusan akhir, tetapi juga dari bagaimana proses hukum dijalankan secara transparan, adil, dan bebas dari intervensi politik. Penundaan pembacaan putusan, meskipun didasarkan pada alasan sakitnya hakim, harus dilihat dengan kritis. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Lebih jauh, kasus ini juga menggarisbawahi pentingnya integritas dalam penyelenggaraan pemilu. KPU, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu, harus selalu berada di garis depan dalam memastikan bahwa setiap tahapan pemilu berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Kasus gugatan PDIP ini menunjukkan bahwa ada ruang untuk memperbaiki tata kelola pemilu di Indonesia, terutama dalam hal kepatuhan terhadap aturan konstitusional.
Bagi PDIP, hasil dari gugatan ini akan menjadi momen penting yang menentukan strategi politik mereka ke depan. Sementara bagi Prabowo dan Gibran, putusan PTUN bisa menjadi ujian awal bagi koalisi politik mereka, terutama dalam menjaga legitimasi pencalonan mereka di mata publik. Bagaimana pun hasil akhirnya, publik berharap bahwa proses hukum ini akan memberikan pelajaran berharga bagi masa depan demokrasi Indonesia---bahwa hukum harus tetap menjadi pijakan utama dalam setiap keputusan politik, tanpa terkecuali.
Penundaan putusan PTUN Jakarta terkait gugatan PDIP terhadap KPU menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika politik Indonesia. Di tengah spekulasi mengenai alasan di balik penundaan ini, penting bagi kita untuk terus menjaga fokus pada prinsip-prinsip demokrasi dan hukum yang adil. Kesehatan sistem politik dan hukum kita tidak hanya ditentukan oleh putusan akhir, tetapi juga oleh bagaimana kita memperlakukan proses hukum itu sendiri. Baik bagi PDIP, KPU, maupun tim Prabowo-Gibran, kasus ini akan menjadi tonggak penting yang menentukan arah politik Indonesia menuju Pilpres 2024 dan seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H