Pada tanggal 11 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan salah satu tonggak penting dari proyek ambisius yang telah menjadi sorotan publik selama beberapa tahun terakhir, yaitu Istana Negara di Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan ditemani oleh Ibu Negara, Iriana, Jokowi dengan bangga mempersembahkan hasil kerja keras dari salah satu mega proyek di masa pemerintahannya.
Namun, peresmian ini tidak hanya menjadi simbol dari kesuksesan Jokowi sebagai pemimpin, tetapi juga membawa beberapa pertanyaan kritis mengenai kelayakan, relevansi, dan masa depan IKN. Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan bahwa Istana Garuda di IKN masih dalam tahap penyelesaian, dan penyerahan tanggung jawab kepada Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk meresmikan Istana Garuda memberikan pesan implisit mengenai kesinambungan proyek ini.
Di balik optimisme Jokowi, muncul beberapa isu krusial yang patut mendapat perhatian publik. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: Apakah perpindahan ibu kota ke Nusantara benar-benar diperlukan dan apakah proyek ini merupakan solusi jangka panjang bagi tantangan Indonesia, atau justru lebih mencerminkan ambisi politik daripada kebutuhan rakyat?
Pembangunan IKN sejak awal telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan masyarakat, akademisi, dan para pengamat kebijakan publik. Bagi banyak pendukungnya, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dipandang sebagai langkah visioner yang dapat memecahkan beberapa masalah mendasar, seperti kepadatan penduduk di Jakarta, penurunan kualitas lingkungan, dan ketimpangan pembangunan antara Pulau Jawa dan daerah lain di Indonesia. Pembangunan IKN dianggap mampu menciptakan pusat pemerintahan yang lebih ramah lingkungan, terencana dengan baik, dan mendukung pertumbuhan ekonomi di luar Jawa.
Namun, optimisme ini tidak selalu mendapat sambutan hangat. Kritik datang dari berbagai pihak yang meragukan urgensi dan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk membangun ibu kota baru. Perubahan yang radikal ini tidak hanya memerlukan dana besar---sekitar Rp 466 triliun, menurut perkiraan awal---tetapi juga menuntut pengorbanan besar dari segi sosial dan ekologi. Para kritikus sering menekankan bahwa pemindahan ibu kota ini lebih didorong oleh ambisi politik ketimbang respons terhadap kebutuhan nyata.
Melihat dari sudut pandang kritis, seberapa mendesak proyek ini bagi Indonesia? Memang benar bahwa Jakarta menghadapi masalah seperti banjir, kemacetan, dan polusi udara yang semakin memburuk, tetapi apakah solusi terbaiknya adalah memindahkan ibu kota, ataukah lebih baik memfokuskan upaya pada perbaikan infrastruktur, tata kelola lingkungan, dan manajemen perkotaan Jakarta?
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pembangunan IKN akan memperburuk masalah ketimpangan sosial. Pemindahan ibu kota hanya akan meningkatkan ketidaksetaraan pembangunan di berbagai wilayah di luar IKN. Banyak daerah di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur atau Papua, yang masih memerlukan perhatian mendesak dalam hal pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Lantas, apakah proyek IKN justru akan semakin memperlebar jurang ketimpangan antara daerah-daerah yang kurang berkembang dengan wilayah lain yang lebih maju?
Dalam peresmian Istana Negara, Jokowi secara terbuka menyerahkan tanggung jawab untuk meresmikan Istana Garuda kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto. Penyerahan ini memiliki makna yang lebih dari sekadar seremonial. Prabowo, yang akan memimpin Indonesia setelah Jokowi, dihadapkan pada keputusan besar: melanjutkan proyek IKN seperti yang telah direncanakan atau mengambil langkah berbeda dengan meninjau kembali proyek tersebut secara lebih mendalam.
Sebagai pemimpin baru, Prabowo harus memikirkan dampak jangka panjang dari melanjutkan proyek ini. Tidak sedikit yang berharap agar Prabowo melakukan evaluasi kritis terhadap IKN. Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan: biaya yang semakin membengkak, kelangsungan ekosistem lokal di Kalimantan Timur, serta kesiapan infrastruktur dasar dan fasilitas umum bagi penduduk yang akan tinggal di sana.
Peran Prabowo di sini menjadi krusial karena dia tidak hanya akan menanggung beban atas kelanjutan proyek, tetapi juga akan menghadapi tantangan untuk memastikan bahwa proyek ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat. Apakah Prabowo akan melanjutkan visi Jokowi, ataukah ia akan memilih jalan yang lebih hati-hati dengan mengevaluasi ulang manfaat dan risiko dari proyek ini?
Salah satu kritik paling menonjol terhadap proyek IKN adalah dampak lingkungannya. Kalimantan Timur, tempat lokasi ibu kota baru, merupakan salah satu wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati. Pembangunan infrastruktur skala besar di kawasan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan ancaman terhadap ekosistem hutan, habitat satwa liar, dan keberlanjutan sumber daya alam.
Sebelumnya, para ahli lingkungan telah memperingatkan bahwa pemindahan ibu kota ini akan mengganggu habitat alami, menyebabkan deforestasi, dan mempengaruhi kualitas air serta tanah di sekitar wilayah tersebut. Meskipun pemerintah berjanji untuk memastikan bahwa pembangunan IKN dilakukan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan bahwa pembangunan besar seperti ini sulit terlepas dari dampak ekologis yang negatif.
Kalimantan Timur sudah cukup lama menghadapi masalah lingkungan, termasuk penambangan batubara yang telah merusak banyak lahan dan menyebabkan krisis ekologi di beberapa daerah. Pemindahan ibu kota hanya akan menambah tekanan pada sumber daya alam yang sudah rapuh di wilayah tersebut. Bagaimana pemerintah akan mengatasi masalah ini? Apakah pembangunan IKN akan benar-benar sejalan dengan visi keberlanjutan yang sering didengungkan, atau justru akan memperburuk kondisi lingkungan di kawasan tersebut?
Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek IKN memiliki muatan politik yang cukup besar. Sebagai salah satu janji kampanye utama Jokowi, pembangunan ibu kota baru ini menjadi salah satu legacy yang ingin ditinggalkannya sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan peresmian Istana Negara di IKN, Jokowi seolah ingin menegaskan bahwa ia telah berhasil mewujudkan impian besar yang ia bangun sejak awal masa kepemimpinannya.
Namun, proyek-proyek infrastruktur skala besar seperti ini sering kali dipandang sebagai alat politik untuk memperkuat citra seorang pemimpin. Di beberapa negara, pembangunan ibu kota baru bukanlah hal yang asing, dan sering kali ini dilakukan untuk meninggalkan warisan yang bertahan lama setelah masa jabatan berakhir. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi simbol kemajuan, tetapi di sisi lain, bisa menjadi contoh bagaimana ambisi politik terkadang mengabaikan realitas kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah proyek IKN benar-benar mencerminkan kebutuhan nasional, ataukah ini lebih merupakan bagian dari upaya Jokowi untuk memperkuat posisinya dalam sejarah? Dengan menyerahkan peresmian Istana Garuda kepada Prabowo, apakah Jokowi mencoba membangun kesinambungan politik yang akan menguntungkan penerusnya, atau justru melempar tanggung jawab atas proyek ini ke pemimpin berikutnya?
Peresmian Istana Negara di Ibu Kota Nusantara oleh Jokowi menandai momen penting dalam sejarah Indonesia modern. Ini bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga mencerminkan visi besar seorang pemimpin yang ingin membawa perubahan mendasar bagi negara. Namun, di balik seremonial ini, ada sejumlah isu krusial yang patut mendapat perhatian.
Proyek IKN adalah cerminan dari kompleksitas antara ambisi politik dan kebutuhan nyata. Di satu sisi, ia menawarkan harapan akan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, seperti ketimpangan pembangunan dan kepadatan penduduk di Jakarta. Namun, di sisi lain, proyek ini menghadirkan tantangan besar dari segi ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Tanggung jawab kini berada di tangan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. Bagaimana ia akan melanjutkan proyek ini, apakah dengan meninjau ulang atau tetap berjalan sesuai rencana, akan sangat menentukan masa depan IKN. Dalam situasi ini, penting bagi masyarakat untuk terus mengawasi dan mempertanyakan apakah proyek sebesar ini benar-benar sejalan dengan kepentingan rakyat atau justru hanya menjadi simbol ambisi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H