Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024 telah memasuki babak pertama debat publik pada hari Minggu kemarin. Debat Calon Gubernur Jakarta 2024 ini diselenggarakan di JIExpo Kemayoran. Debat yang mempertemukan tiga pasangan calon, yaitu Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno, berlangsung selama dua jam, tetapi meninggalkan banyak kekecewaan bagi para penonton, baik yang hadir di tempat ataupun yang menonton di televisi.
 Bukan karena kurangnya durasi atau format yang tidak sesuai, tetapi lebih pada substansi yang dihadirkan dalam forum yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan visi bagi masa depan Jakarta.
Debat Pilkada Jakarta kali ini seakan berjalan di permukaan saja, tanpa ada perdebatan sengit yang lebih mendalam. Padahal, perdebatan sengit yang biasanya menjadi daya tarik utama Pilkada Jakarta.Â
Pengamat politik, seperti Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, dan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, turut angkat bicara, menyebutkan bahwa dinamika debat perdana kali ini jauh dari harapan. Mereka menilai minimnya adu gagasan antar kandidat menjadi tanda turunnya standar kompetisi politik di Jakarta.
Jika dibandingkan dengan Pilgub Jakarta 2017, atmosfer Pilgub kali ini terasa jauh berbeda. Pada 2017, debat publik yang mempertemukan Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Agus Harimurti Yudhoyono dipenuhi dengan ketegangan, perdebatan sengit, serta adu argumentasi yang kuat.Â
Publik disuguhkan berbagai gagasan yang saling bertentangan, yang membuka ruang bagi pemilih untuk menilai secara kritis visi dan misi dari para kandidat.
Namun, dalam debat Pilkada 2024 ini, suasana tersebut tampak tidak ada. Arifki Chaniago mengataka bahwa tidak ada serangan atau sanggahan yang berarti antara para kandidat. Padahal, debat seharusnya menjadi ajang bagi setiap calon untuk mengkritik atau menantang gagasan lawan, sekaligus memperkuat argumen mereka sendiri.Â
Bukannya memperdebatkan ide, ketiga pasangan justru lebih sering memaparkan program masing-masing tanpa menanggapi argumen lawan.
Ini terlihat jelas pada momen ketika Suswono, pasangan dari Ridwan Kamil, diberi kesempatan untuk menanggapi gagasan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana. Alih-alih menyampaikan kritik atau sanggahan, Suswono memilih untuk kembali mempresentasikan programnya sendiri, seolah tidak ada perbedaan ide di antara ketiga pasangan yang bertarung. Hal ini tentu menimbulkan kekecewaan, mengingat publik mengharapkan adanya diskusi yang lebih substansial dan produktif.