Tanggal 1 lalu, Pelantikan DPR dan DPD terpilih berlangsung. 25 selebritas ikut dilantik dan disahkan sebaggai wakil rakyat untuk periode 2024-2029 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, menuai perhatian besar dari masyarakat. Dari jumlah itu, 23 artis terpilih sebagai anggota DPR RI, sementara dua lainnya menjadi anggota DPD RI. Nama-nama terkenal seperti komedian Komeng yang meraih suara terbanyak di DPD dengan 5,3 juta suara mendominasi pemberitaan sebulan pasca masa pemilihan legislatif.
Namun di balik meriahnya perhatian media dan sambutan masyarakat konstituen yang memilih mereka, muncul satu pertanyaan serius di benak penulis, Â Apakah masuknya selebritas ke parlemen benar-benar menguatkan demokrasi? Atau justru menunjukkan betapa sistem kita semakin condong pada popularitas daripada kompetensi?
Popularitas artis di dunia politik bukanlah hal baru. Sejak era reformasi, semakin banyak selebritas yang terjun ke politik. Tapi jumlah yang dilantik di tahun 2024 menjadi yang terbanyak dalam sejarah. Lalu, kenapa artis begitu mudah meraih kursi legislatif?
Jawabannya sederhana, yakni popularitas. Di era demokrasi langsung, dikenal luas menjadi modal penting. Namun, popularitas bukan jaminan mereka bisa menjalankan tugas legislasi dengan baik. Banyak yang hanya melihat nama besar, tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk merumuskan kebijakan publik.
Beberapa artis, seperti Dede Yusuf atau Eko Patrio, mungkin bisa dianggap sebagai artis yang berhasil membuktikan diri sebagai legislator yang kompeten. Tapi tidak sedikit pula yang hanya dikenal karena minim kontribusi, jarang hadir di sidang, atau terlibat dalam kontroversi di luar tugas mereka.
Tugas utama wakil rakyat adalah membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pemerintahan. Apakah selebritas siap menjalankan fungsi ini? Pengalaman di periode sebelumnya menunjukkan bahwa tidak semua dari mereka mampu beradaptasi dengan tugas berat ini. Misalnya, pada periode 2019-2024, beberapa artis sering dikritik karena absensi tinggi atau minim partisipasi dalam sidang.
Selain itu, banyak dari mereka yang terjebak dalam politik partai, lebih sering mengikuti arahan partai tanpa benar-benar memahami implikasi dari kebijakan yang didukung. Kondisi ini berpotensi membuat mereka hanya menjadi "pajangan" politik, tanpa memberikan kontribusi nyata.
Dalam dunia politik modern, media memainkan peran besar dalam membentuk opini publik. Selebritas, dengan penggemar yang loyal, memiliki keunggulan besar. Namun, apakah pemilih benar-benar paham akan kemampuan artis-artis ini dalam politik? Atau hanya memilih berdasarkan ketenaran?
Fenomena selebritas di parlemen mungkin menggambarkan jarak antara publik dan proses politik. Jika popularitas terus menjadi faktor utama dalam pemilihan, kita bisa menghadapi risiko parlemen yang lebih mirip panggung hiburan daripada lembaga pembuat kebijakan.
Partai politik juga memiliki peran besar dalam fenomena ini. Artis adalah aset politik yang sangat menguntungkan, bisa mendulang suara dengan mudah tanpa biaya kampanye yang besar. Namun, hal ini sering kali mengorbankan calon yang mungkin lebih kompeten, tapi kurang populer.