Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menganalisis Makin Maraknya Paslon Tunggal dalam Pilkada 2024

5 Oktober 2024   22:36 Diperbarui: 7 Oktober 2024   06:57 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita perlu menyadari bahwa demokrasi tanpa kompetisi berisiko merusak sistem politik kita dalam jangka panjang. Tanpa adanya pilihan, demokrasi kehilangan makna esensialnya. Pilkada yang hanya menawarkan calon tunggal dengan lawan kotak kosong bukanlah demokrasi yang sehat; itu adalah simulasi demokrasi yang menyesatkan.

Masyarakat di daerah yang hanya memiliki calon tunggal mungkin merasa apatis terhadap proses politik. Bagaimana tidak, ketika mereka tidak memiliki calon alternatif yang menawarkan visi dan program yang berbeda, maka minat untuk berpartisipasi dalam Pilkada akan menurun. 

Tingkat partisipasi pemilih bisa saja anjlok, karena banyak yang merasa bahwa hasil pemilihan sudah bisa diprediksi. Mereka yang memilih kotak kosong mungkin melakukannya sebagai bentuk protes, tetapi pada akhirnya, protes ini tidak akan berdampak besar kecuali terjadi kemenangan kotak kosong yang sangat jarang.

Lebih buruk lagi, fenomena calon tunggal dapat memicu ketidakpuasan yang lebih dalam di masyarakat. Rakyat yang tidak merasa diwakili oleh satu-satunya calon yang ada mungkin merasa terpinggirkan. 

Ketidakpuasan ini, jika terus berlanjut, bisa mengarah pada ketidakpercayaan terhadap proses politik dan pemerintahan itu sendiri. 

Dalam jangka panjang, ini berpotensi menggerus legitimasi pemerintah di tingkat lokal dan melemahkan tatanan demokrasi secara keseluruhan.

Kotak kosong, sebagai opsi yang tersedia bagi pemilih, sering kali dianggap sebagai solusi sementara bagi ketiadaan kompetisi politik. Namun, kita harus kritis dalam melihat fenomena ini. 

Apakah kotak kosong benar-benar memberikan jalan keluar bagi masyarakat yang tidak puas dengan calon tunggal? Ataukah ini hanya upaya kosmetik untuk menutupi kegagalan sistem politik dalam menyediakan alternatif?

Di beberapa kasus, kotak kosong memang berhasil menang, seperti di Pilkada Makassar 2018. Namun, ini bukanlah hal yang umum terjadi. Lebih seringnya, calon tunggal menang telak, dan kotak kosong menjadi simbol protes yang tidak efektif. 

Dalam demokrasi yang ideal, masyarakat seharusnya tidak perlu bergantung pada kotak kosong sebagai bentuk perlawanan. Mereka seharusnya diberikan pilihan calon yang beragam, yang menawarkan visi dan program kerja yang jelas. 

Ketika hanya ada calon tunggal, dan kotak kosong menjadi satu-satunya pilihan alternatif, maka demokrasi itu sendiri sedang dalam bahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun