Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menganalisis Makin Maraknya Paslon Tunggal dalam Pilkada 2024

5 Oktober 2024   22:36 Diperbarui: 7 Oktober 2024   06:57 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Paslon Tunggal. (Sumber: KOMPAS/CHY)

Pilkada serentak 2024 sedang bergerak menuju sebuah titik krisis yang jarang dibicarakan, namun sangat mengkhawatirkan, yakni maraknya calon tunggal. Hingga awal september 2024, tercatat 43 daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. 

Hal ini berarti, masyarakat di daerah tersebut bukan dihadapkan pada pilihan yang sehat, tetapi dipaksa memilih antara calon tunggal atau kotak kosong. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa pendaftaran untuk 43 daerah tersebut dengan harapan partai-partai politik berani mengusung calon baru. Jika tidak, sejarah akan mencatat Pilkada 2024 sebagai pemilihan dengan jumlah calon tunggal terbanyak sejak era reformasi.

Pertanyaannya, di mana letak demokrasi kita ketika proses elektoral semakin mengkerucut pada fenomena tanpa pilihan? Apakah partai-partai politik telah menyerah pada fungsi utamanya, yaitu sebagai wadah penyeleksi pemimpin yang kompetitif? 

Fenomena ini lebih dari sekadar anomali elektoral; ini adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang keliru dengan cara kita menjalankan demokrasi. 

Artikel ini mencoba untuk mengupas dengan kritis apa yang sebenarnya terjadi di balik maraknya calon tunggal, dan apa dampaknya bagi demokrasi di tingkat lokal maupun nasional.

Salah satu indikator utama dari demokrasi yang sehat adalah adanya pilihan yang jelas dan kompetitif bagi pemilih. Namun, ketika Pilkada hanya menyisakan satu pasangan calon, kita harus mempertanyakan apakah masyarakat benar-benar memiliki pilihan. 

Dalam banyak kasus, calon tunggal adalah petahana atau figur dominan di daerah tersebut, yang karena kekuatannya secara politik, ekonomi, dan sosial, membuat calon-calon lain mundur atau enggan maju.

Beberapa contohnya sangat mencolok. Papua Barat, sebuah provinsi besar dengan dinamika politik yang unik, hanya memiliki satu pasangan calon. Di tingkat kota, daerah-daerah strategis seperti Surabaya, Pangkal Pinang, hingga Samarinda juga menyisakan calon tunggal. 

Untuk di tingkat kabupaten, daerah-daerah seperti Serdang Bedagai (Sumatera Utara) hingga Muna Barat (Sulawesi Tenggara) memiliki situasi serupa. Dalam kasus-kasus ini, dominasi politik lokal menjadi sangat kentara. Partai-partai politik besar lebih memilih berkoalisi untuk mendukung satu calon, daripada bertarung di arena demokrasi yang sesungguhnya.

Namun, apa dampaknya terhadap masyarakat? Pemilih di daerah-daerah ini dipaksa untuk memilih antara mendukung satu-satunya calon atau memilih kotak kosong. Di permukaan, kotak kosong seolah menawarkan alternatif. 

Tetapi mari kita kritis sejenak: apakah benar kotak kosong adalah solusi bagi ketidakpuasan publik? Dalam sistem yang seharusnya menawarkan beragam calon dan gagasan, kotak kosong hanya mencerminkan kemunduran. 

Pemilihan semacam ini, alih-alih memupuk kompetisi yang sehat, justru mengikis representasi politik. Ini bukan lagi tentang pilihan, melainkan penyerahan mutlak kepada status quo.

Maraknya calon tunggal menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: kegagalan partai politik dalam menjalankan peran mereka sebagai institusi demokrasi. 

Partai-partai politik seharusnya menjadi wadah untuk mengajukan calon-calon yang layak, yang bisa menjadi alternatif bagi rakyat. 

Namun kenyataannya, partai-partai besar lebih memilih bermain aman, berkoalisi untuk mendukung calon yang kuat, dan mengabaikan hakikat demokrasi yang seharusnya memberikan pilihan nyata.

Mengapa partai-partai politik enggan mengusung calon lain? Jawaban sederhana: perhitungan pragmatis. 

Partai-partai ini lebih fokus pada bagaimana mempertahankan kekuasaan, daripada bagaimana memberikan alternatif bagi masyarakat. Dengan mendukung calon tunggal yang kuat, mereka mengamankan posisi politiknya dan meminimalisir risiko kekalahan. 

Hal ini terjadi di berbagai daerah, terutama di mana petahana atau sosok berpengaruh lokal mendominasi. Daerah seperti Aceh Utara, Brebes, hingga Gresik menjadi contoh nyata di mana partai-partai politik memilih untuk tidak mengusung calon baru, meskipun mungkin ada potensi untuk melawan status quo.

Selain itu, fenomena calon tunggal juga menunjukkan krisis pengkaderan di dalam tubuh partai. Partai-partai politik sering kali mengandalkan sosok kuat yang sudah dikenal, daripada memunculkan tokoh baru yang bisa menawarkan perubahan. 

Akibatnya, proses rekrutmen politik di tingkat lokal terhenti. Ini juga yang menyebabkan banyak daerah berakhir dengan calon tunggal, karena partai politik tidak memiliki stok kader yang kompeten atau berani bersaing.

Kita perlu menyadari bahwa demokrasi tanpa kompetisi berisiko merusak sistem politik kita dalam jangka panjang. Tanpa adanya pilihan, demokrasi kehilangan makna esensialnya. Pilkada yang hanya menawarkan calon tunggal dengan lawan kotak kosong bukanlah demokrasi yang sehat; itu adalah simulasi demokrasi yang menyesatkan.

Masyarakat di daerah yang hanya memiliki calon tunggal mungkin merasa apatis terhadap proses politik. Bagaimana tidak, ketika mereka tidak memiliki calon alternatif yang menawarkan visi dan program yang berbeda, maka minat untuk berpartisipasi dalam Pilkada akan menurun. 

Tingkat partisipasi pemilih bisa saja anjlok, karena banyak yang merasa bahwa hasil pemilihan sudah bisa diprediksi. Mereka yang memilih kotak kosong mungkin melakukannya sebagai bentuk protes, tetapi pada akhirnya, protes ini tidak akan berdampak besar kecuali terjadi kemenangan kotak kosong yang sangat jarang.

Lebih buruk lagi, fenomena calon tunggal dapat memicu ketidakpuasan yang lebih dalam di masyarakat. Rakyat yang tidak merasa diwakili oleh satu-satunya calon yang ada mungkin merasa terpinggirkan. 

Ketidakpuasan ini, jika terus berlanjut, bisa mengarah pada ketidakpercayaan terhadap proses politik dan pemerintahan itu sendiri. 

Dalam jangka panjang, ini berpotensi menggerus legitimasi pemerintah di tingkat lokal dan melemahkan tatanan demokrasi secara keseluruhan.

Kotak kosong, sebagai opsi yang tersedia bagi pemilih, sering kali dianggap sebagai solusi sementara bagi ketiadaan kompetisi politik. Namun, kita harus kritis dalam melihat fenomena ini. 

Apakah kotak kosong benar-benar memberikan jalan keluar bagi masyarakat yang tidak puas dengan calon tunggal? Ataukah ini hanya upaya kosmetik untuk menutupi kegagalan sistem politik dalam menyediakan alternatif?

Di beberapa kasus, kotak kosong memang berhasil menang, seperti di Pilkada Makassar 2018. Namun, ini bukanlah hal yang umum terjadi. Lebih seringnya, calon tunggal menang telak, dan kotak kosong menjadi simbol protes yang tidak efektif. 

Dalam demokrasi yang ideal, masyarakat seharusnya tidak perlu bergantung pada kotak kosong sebagai bentuk perlawanan. Mereka seharusnya diberikan pilihan calon yang beragam, yang menawarkan visi dan program kerja yang jelas. 

Ketika hanya ada calon tunggal, dan kotak kosong menjadi satu-satunya pilihan alternatif, maka demokrasi itu sendiri sedang dalam bahaya.

Dengan diperpanjangnya masa pendaftaran calon kepala daerah di 43 wilayah, kita hanya bisa berharap bahwa partai-partai politik mampu berani mengusung calon baru yang kompeten. 

Namun, melihat tren yang terjadi, tampaknya harapan ini kecil. Partai-partai politik besar sudah terlalu nyaman dengan status quo, dan kotak kosong, meski mungkin menjadi opsi protes bagi masyarakat, bukanlah solusi jangka panjang.

Kita memerlukan reformasi dalam sistem politik dan partai politik. Partai-partai harus kembali pada fungsi utamanya: sebagai penjaga demokrasi yang menyediakan ruang bagi kompetisi dan alternatif politik. 

Kaderisasi dan rekrutmen politik harus diperbaiki, sehingga calon-calon yang kompeten dan berani bisa muncul, terutama di tingkat lokal. Jika tidak, kita hanya akan melihat semakin banyak calon tunggal di masa depan, dan demokrasi kita akan semakin terkikis oleh pragmatisme politik yang sempit.

Pilkada 2024 dengan fenomena calon tunggal di 43 daerah bukan hanya sebuah anomali, tetapi krisis representasi yang mengkhawatirkan. 

Partai-partai politik, dengan perhitungan pragmatisnya, memilih mendukung calon tunggal daripada membuka ruang kompetisi. Kotak kosong, meski tampak sebagai alternatif, hanyalah solusi sementara yang tidak menyelesaikan akar masalah demokrasi kita. 

Jika kita ingin demokrasi yang sehat, kita harus menuntut lebih dari partai politik dan memastikan bahwa Pilkada tidak hanya menjadi ajang formalitas, tetapi ruang bagi kompetisi politik yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun