Namun, apa dampaknya terhadap masyarakat? Pemilih di daerah-daerah ini dipaksa untuk memilih antara mendukung satu-satunya calon atau memilih kotak kosong. Di permukaan, kotak kosong seolah menawarkan alternatif.Â
Tetapi mari kita kritis sejenak: apakah benar kotak kosong adalah solusi bagi ketidakpuasan publik? Dalam sistem yang seharusnya menawarkan beragam calon dan gagasan, kotak kosong hanya mencerminkan kemunduran.Â
Pemilihan semacam ini, alih-alih memupuk kompetisi yang sehat, justru mengikis representasi politik. Ini bukan lagi tentang pilihan, melainkan penyerahan mutlak kepada status quo.
Maraknya calon tunggal menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: kegagalan partai politik dalam menjalankan peran mereka sebagai institusi demokrasi.Â
Partai-partai politik seharusnya menjadi wadah untuk mengajukan calon-calon yang layak, yang bisa menjadi alternatif bagi rakyat.Â
Namun kenyataannya, partai-partai besar lebih memilih bermain aman, berkoalisi untuk mendukung calon yang kuat, dan mengabaikan hakikat demokrasi yang seharusnya memberikan pilihan nyata.
Mengapa partai-partai politik enggan mengusung calon lain? Jawaban sederhana: perhitungan pragmatis.Â
Partai-partai ini lebih fokus pada bagaimana mempertahankan kekuasaan, daripada bagaimana memberikan alternatif bagi masyarakat. Dengan mendukung calon tunggal yang kuat, mereka mengamankan posisi politiknya dan meminimalisir risiko kekalahan.Â
Hal ini terjadi di berbagai daerah, terutama di mana petahana atau sosok berpengaruh lokal mendominasi. Daerah seperti Aceh Utara, Brebes, hingga Gresik menjadi contoh nyata di mana partai-partai politik memilih untuk tidak mengusung calon baru, meskipun mungkin ada potensi untuk melawan status quo.
Selain itu, fenomena calon tunggal juga menunjukkan krisis pengkaderan di dalam tubuh partai. Partai-partai politik sering kali mengandalkan sosok kuat yang sudah dikenal, daripada memunculkan tokoh baru yang bisa menawarkan perubahan.Â
Akibatnya, proses rekrutmen politik di tingkat lokal terhenti. Ini juga yang menyebabkan banyak daerah berakhir dengan calon tunggal, karena partai politik tidak memiliki stok kader yang kompeten atau berani bersaing.