Mohon tunggu...
Thoriq Shoma
Thoriq Shoma Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

penulis adalah seorang penyayang terhadap wanita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sejarah Peristiwa Tragis 10 Muharam Serta Faedahnya

10 September 2019   05:50 Diperbarui: 10 September 2019   06:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(doc. kompasiana.com)

Sebelum membaca lebih jauh, mari kita membaca surat al-Fatihah terlebih dahulu yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mencintai beliau khususnya ditujukan kepada cucu nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Husein bin Ali, al-Fatihah..

Dewasa ini khususnya di Indonesia, pertarungan politik untuk memperoleh suatu kekuasaan atau jabatan tidak jarang sekali terelakkan. Sampai kemudian menggunakan cara-cara yang sangat jauh dari kebenaran tuntunan yang terkandung dalam agama, misalnya politisasi agama. 

Agama layaknya komoditas yang diperjual-belikan demi hasrat sesaat untuk memperoleh kekuasaan.

Fenomena tersebut tidak jauh berbeda motifnya dengan kondisi masyarakat muslim pasca sepeninggal nabi Muhammad SAW. Saat itu bisa digambarkan bahwa keadaan masyarakat menjadi kacau setalah nabi SAW wafat.

Sampai kemudian dibutuhkan seorang pemimpin pengganti nabi Muhammad SAW untuk memimpin dan membimbing umat serta meneruskan perjuangan nabi yaitu menyebarkan dan mengajarkan ajaran-ajaran Islam, sehingga outputnya adalah terwujudnya manusia yang berakhlak. Hal itu senada dengan hadis yang berbunyi, "Sesungguhnya aku (nabi) diutus hanya untuk menyempurnakan kesalihan akhlak." (HR. al-Baihaqi)

Seiring pergantian khalifah, dari mulai masa kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq sampai masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Persoalan muncul sangat mencolok ketika kepemimpinan jatuh di tangan Utsman bin 'Affan, salah satu contoh persoalannya yaitu kebijakan sang Khalifah dalam mengangkat pejabat-pejabat, yang mayoritas hanya dari kalangan keluarganya. Hal itu tentu menuai kecaman dari berbagai sahabat yang lain. Fenomena yang tak lain hanya seputar politik kekuasaan itu, lebih jauh sampai tega menumpahkan darah antar sesama sahabat nabi. Sebagai salah satu contoh, Utsman bin 'Affan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh Muhammad bin Abu Bakar saat sedang membaca al quran.[1]

Kurang lebih 1380 tahun yang lalu, tepatnya 10 Muharam tahun 61 H saat dinasti Umayyah berkuasa dan dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, kejadian yang tragis seperti di atas terulang kembali. 

Kejadian tragis itu menimpa cucu nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Husein bin Ali beserta para rombongannya yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju ke Iraq untuk memenuhi suatu panggilan.

Sesampai di padang Karbala, Husein beserta rombongan yang berjumlah sekitar 72 (kutipan Prof. Nadirsyah Hosen dari Ibn Katsir)  orang itu  dihadang oleh pasukan Ziyad bin Habih (seorang gubenur Muawiyah) atas perintah dari Ubaidullah bin Ziyad. Peperangan tak dapat dibendung, semua pasukan Husein dihabisi termasuk Husein sendiri kecuali Zainab yang sedang sakit dan Ali Zainal Abidin yang ketika itu masih kecil (Imam Baehaqi, 2010: 26).

Sama seperti pembunuhan Utsman bin 'Affan, Husein pun dibunuh dan dipenggal kepalanya oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai (kutipan Prof. Nadirsyah Hosen dari Ibn Katsir dalam kitab Al-Bidayah, 8/204). 

Diduga pembunuhan terjadi hanya karena Husein enggan mengakui kekuasaan yang dipimpin oleh khalifah Yazid bin Muawiyah tersebut.

Demikian sebagian dari sekian banyak persoalan masa lalu antar sesama muslim yang tak jarang menimbulkan pertumpahan darah menyangkut politik kekuasaan yang sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat dewasa ini. 

Perlu diketahui, tidak selamanya yang menyangkut politik itu buruk. Sejatinya tujuan politik adalah untuk kemaslahatan umum, hanya saja hal demikian menjadi buruk ketika disalahgunakan seseorang yang mempunyai wewenang.

Dalam sejarah di atas terdapat pelajaran bagi kita semua. Dalam konteks laboratorium mini negara/ di dunia kampus, penulis menghimbau kepada para mahasiswa yang berkecimpung dalam hal politik, berlatihlah berpolitik tetapi jangan sampai menimbulkan gesekan atau pertarungan yang dapat memecah-belah. Begitu pula dalam konteks negara secara keseluruhan. 

Marilah kita sadar akan pentingnya persaudaraan baik sesama agama maupun sesama manusia bernegara, karena jika kita semua terpecah-belah, akan ada pihak lain yang memanfaatkan kondisi yang demikian. Wallahu a'lam

Referensi:

nadirhosen.net diakses pada 9 September 2019

Baehaqi, Imam. Kontroversi Aswaja (Aula Perdebatan dan Reinterpretasi). Yogyakarta: LkiS. 2010. Cet 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun