Mohon tunggu...
Mohammad Thoriq Bahri
Mohammad Thoriq Bahri Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi

Analis Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi, yang mencoba memberi warna dengan tulisannya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memahami Posisi Dirjen Imigrasi dalam Kasus Perbudakan ABK Indonesia di Luar Negeri

19 Mei 2020   11:13 Diperbarui: 26 Januari 2021   09:07 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by GEORGE DESIPRIS from Pexels

Seorang Anak Buah Kapal (ABK) Asal Indonesia telah di larung di lautan lepas, tanpa pemberitahuan kepada keluarga atau otoritas terkait. ABK asal Indonesia tersebut bernama Ari (24) yang berasal dari Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Ari sendiri telah bekerja di kapal tersebut selama 13 bulan sejak awal tahun 2019 yang lalu.  Menurut informasi yang beredar, diketahui bahwa sebelumnya Ari telah meninggal dunia di Kapal penangkap ikan yang teregistrasi dengan nama Long Xing 629 dengan bendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sebelum meninggal, tubuh Ari sempat mengalami bengkak-bengkak di beberapa bagian.

Fakta ini terungkap pada saat Kapal Long Xing 629 merapat di Pelabuhan Busan, Korea Selatan dan beberapa ABK lain di dalam kapal tersebut, yang berasal Indonesia menceritakan kejadian tersebut kepada otoritas terkait di Korea Selatan. Berita yang mengejutkan ini segera menjadi viral, salah yang memviralkannya adalah seorang Youtuber asal Korea Selatan dengan nama akun "Korea Reomit" yang menerjemahkannya dari berita berbahasa Korea. Meninggalnya Ari yang bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) ABK di Kapal berbendera RRT tersebut, segera menjadi headline di beberapa media berskala nasional beberapa minggu ini.

Fenomena Puncak Gunung Es

Namun, kasus tersebut hanyalah puncak dari sebuah gunung es, yang mengungkap perlakuan di luar batas kemanusiaan yang terjadi kepada beberapa Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang menjadi ABK di luar negeri. Merapatnya kapal Long Xing 629 di Pelabuhan Busan, Korea Selatan memberikan akses bagi 9 ABK asal Indonesia lainnya untuk membuka tabir akan terjadinya perbudakan di era modern pada Kapal berbendera RRT tersebut. Sesi Interogasi yang dilakukan pihak otoritas Korea Selatan mengungkap banyak informasi yang selama ini ditutup-tutupi oleh perusahaan pemilik Kapal Long Xing 629.

Indikasi perbudakan sangat jelas terlihat pada kasus ini, pertama diketahui bahwa ABK asal Indonesia tersebut diwajibkan bekerja selama 18 jam, dengan waktu istirahat hanya selama 6 jam dalam sehari. Kedua, upah yang mereka terima tidak sesuai dengan perjanjian awal, dimana mereka hanya diberikan upah sebesar 1,7 Juta rupiah untuk masa kerja selama 13 bulan, atau sebesar 100 ribu rupiah perbulan. Ketiga, mereka hanya diperbolehkan untuk meminum air laut yang difiltrasi, dan dilarang untuk meminum air mineral, dimana air mineral hanya diminum oleh awak kapal yang berasal dari negara China.

Seiring bergulirnya kasus ini, fakta demi fakta terkuak, salah satunya adalah perbudakan modern tersebut tidak hanya menimpa mereka yang bekerja di Kapal Long Xing 629 saja. Indikasi perbudakan n juga terjadi pada ABK asal Indonesia lainnya yang bekerja di Kapal milik Dalian Ocean Fishing Co. Ltd. Mereka terbagi  dalam tujuh kapal yakni Long Xing 629, Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8, dengan total 14 orang ABK asal Indonesia yang bekerja pada Kapal-kapal tersebut. Belakangan, perusahaan menutupi fakta tersebut karena mereka juga menangkap hiu, yang merupakan perbuatan illegal, sehingga Kapal sangat jarang merapat ke daratan agar perbuatan mereka tidak tercium otoritas terkait.

Aturan yang dilanggar

Perbudakan terjadi apabila terdapat aturan terkait dengan standar kerja untuk ABK di perairan Internasional dilanggar, sesuai dengan hukum internasional yang diatur oleh International Labor Organization (ILO). ILO mengatur bahwa peraturan tersebut berlaku apabila pekerjaan sebagai ABK tersebut dilakukan diluar negara asal dari seorang pekerja migran. Dalam kasus ini, dapat diuraikan bahwa terdapat 3 (tiga) poin pelanggaran yang dilakukan oleh pihak terkait,, yaitu terkait dengan standar jam kerja, standar upah minimal dan fasilitas dalam melaksanakan pekerjaan.
Peraturan terkait dengan jam kerja maksimal yang dapat dibebankan kepada seorang ABK sendiri sebenarnya diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh International Labor Organization (ILO), melalui Seafarers' Hours of Work and the Manning of Ships Convention, 1996 (No. 180). Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa seorang ABK dapat dibebankan maksimal 14 jam kerja dalam sehari, atau maksimal 72 jam dalam satu minggu, hal ini merujuk pada Chapter 5, yang menyebutkan "The limits on hours of work or rest shall be as follows: (a) maximum hours of work shall not exceed: (i) 14 hours in any 24-hour period; and (ii) 72 hours in any seven-day period;".

Kemudian, untuk jam istirahat sendiri sesuai dengan peraturan ILO tersebut, telah diatur minimal adalah 10 jam dalam sehari, atau 77 jam dalam satu minggu, sebagaimana disebutkan dalam Chapter 5 "(b) minimum hours of rest shall not be less than: (i) ten hours in any 24-hour period; and (ii) 77 hours in any seven-day period.". ABK asal Indonesia di Kapal Long Xing 629 diwajibkan bekerja selama 18 jam dalam sehari, dengan waktu istirahat selama 6 jam saja, jelas terdapat pelanggaran yang jelas terkait dengan standar jam kerja maksimal yang ditetapkan.

Pelanggaran upah minimum juga terjadi dalam kasus ini, dalam berita terkait disebutkan bahwa ABK asal Indonesia hanya menerima upah sebesar 1,7 juta rupiah, selama 13 bulan bekerja sebagai ABK. Padahal, ILO, melalui Maritime Labour Convention 2006, telah tegas diatur bahwa terdapat batas minimal untuk upah yang diterima oleh ABK yang bekerja di luar negeri. Sebagaimana termaktub dalam konvensi Subcommittee of the Joint Maritime Commission (JMC), yang menetapkan "US$614 to US$618 as of 1 July 2019, US$625 as of 1 January 2020 and US$641 as of 1 January 2021, representing an overall increase of 4.5%". Dimana seharusnya, ABK Indonesia yang bekerja di Kapal berbendera RRT tadi, menerima upah minimal sebesar US$625 atau sekitar 9 juta rupiah setiap bulannya. Tentu saja ini merupakan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Dalian Ocean Fishing Co. Ltd terhadap ABK asal Indonesia.

Terakhir, pada poin fasilitas dalam melaksanakan pekerjaan, telah diatur dalam konvensi International Labor Organization (ILO), melalui C163 - Seafarers' Welfare Convention, 1987 (No. 163) pada Chapter 3, disebutkan bahwa "that welfare facilities and services are provided in appropriate ports of the country for all seafarers, irrespective of nationality, race, colour, sex, religion, political opinion or social origin and irrespective of the State in which the ship on which they are employed is registered". Dapat disimpulkan bahwa fasilitas dalam pekerjaan, harus setara antara ABK satu dengan lainnya tanpa memandang Suku, Agama, Ras, Jenis Kelamin, bahkan pandangan politik dari ABK tersebut. Pada kasus ini, diketahui bahwa fasilitas air mineral hanya diberikan kepada ABK asal RRT saja, berbeda dengan ABK asal Indonesia yang hanya diberikan minum dengan air laut yang difiltrasi.
Jelas sekali, bahwa telah terdapat perbudakan sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh International Labor Organization (ILO), melalui konvesi yang khusus mengatur tentang pekerjaan ABK di territorial internasional. Hal ini menegaskan bahwa yang paling bertanggungjawab terhadap nasib dari ABK asal Indonesia di luar territorial Indonesia adalah perusahaan yang memperkerjakan ABK tersebut, yaitu Dalian Ocean Fishing Co. Ltd.

Langkah Hukum

Peristiwa tersebut membuat Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mengambil langkah hukum untuk mengusut kasus ini. Polisi segera memanggil perusahaan penyalur Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang memberangkatkan mereka, yakni PT. APJ, dengan terperiksa adalah Direktur Perusahaan tersebut. Kemudian, guna melengkapi keterangan yang dibutuhkan, Polisi juga memanggil pihak Imigrasi yang mengeluarkan Paspor bagi 14 orang ABK asal Indonesia tersebut, yakni Kantor Imigrasi Pemalang yang mengeluarkan 10 paspor dan Kantor Imigrasi Tanjung Priok yang mengeluarkan 4 Paspor untuk ABK asal Indonesia yang bekerja di perusahaan Dalian Ocean Fishing Co. Ltd tersebut. Sebuah pertanyaan tercetus, yakni bagaimana paspor sebagai dokumen pokok untuk bekerja keluar negeri dapat dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi terkait? Lalu Bagaimana Posisi Imigrasi dalam kasus ini?

Mamahami Posisi Imigrasi dalam Proses Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Pentingnya perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) diluar negeri sendiri sudah lama menjadi fokus dari instansi Pemerintah yang membidangi Ketenagakerjaan, karena Indonesia sendiri merupakan salah satu negara di ASEAN yang menempati peringkat kedua dalam hal jumlah PMI yang dikirim untuk bekerja keluar negeri setelah Filipina, sesuai dengan publikasi yang dirilis oleh ILO pada tahun 2018.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memiliki aturan yang khusus mengatur tentang Perlindungan PMI diluar negeri. Perlindungan tersebut diaksanakan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam peraturan tersebut, pada Pasal 4 ayat (1) butir (c) disebutkan bahwa "Pekerja Migran Indonesia Meliputi : (c) Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan". Hal ini menunjukkan bahwa ABK merupakan subyek perlindungan aturan terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI). Perlindungan bagi PMI sendiri menurut peraturan tersebut sebagaimana disebutkan pada Pasal 7, dibagi menjadi tiga, yaitu Perlindungan Sebelum Bekerja, Perlindungan Selama Bekerja dan Perlindungan Setelah Bekerja. Perlindungan sebelum bekerja sendiri, sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) terdiri dari perlindungan Administratif dan Teknis, yang kemudian pada Pasal (8) Ayat (2) disebutkan bahwa perlindungan Administratif merupakan perlindungan terkait dengan Kelengkapan dan Keabsahan dokumen yang digunakan oleh Calon PMI sebelum penempatan untuk bekerja di negara tujuan.

Paspor sebagai salah satu persyaratan bagi PMI untuk bekerja di luar negeri termasuk dalam perlindungan Administratif bagi Calon PMI sebelum bekerja ke luar negeri. Hal ini dipertegas melalui Pasal 13 butir (e) yang menyebutkan bahwa : "Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, Calon Pekerja Migran Indonesia wajib memiliki dokumen yang meliputi: (e) Paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat".  Peraturan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tersebut menegaskan bahwa peran Direktorat Jenderal Imigrasi, hanya sebatas sebagai instansi yang diberikan wewenang untuk menerbitkan Paspor. Dimana persyaratan dokumen perjalanan berupa Paspor berada pada hulu perlindungan administratif Calon PMI yang akan bekerja ke luar negeri. Dapat disimpulkan, sesuai dengan Undang-Undang terkait, Direktorat Jenderal Imigrasi sendiri tidak memiliki kewenangan apapun terkait dengan pemberangkatan PMI keluar negeri.

Ketentuan yang Jelas dan Mengikat

Kantor Imigrasi yang melaksanakan fungsi pelayanan publik, sebagai instansi yang menerbitkan dokumen perjalanan berupa paspor, melaksanakan fungsinya sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permenkumham) Nomor 8 Tahun 2014. Dimana pada Pasal 6 Ayat (2) pada butir (f), disebutkan bahwa Pekerja Migran Indonesia (PMI) diwajibkan melampirkan surat rekomendasi permohonan paspor calon tenaga kerja Indonesia yang diterbitkan oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota. Pada fungsi pelayanan Keimigrasian, apabila persyaratan permohonan paspor yang dilampirkan oleh Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) tersebut sudah lengkap, yaitu terdiri dari KTP Elektronik, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Ijasah, Akta Nikah atau Surat Baptis, Surat Rekomendasi Permohonan Paspor Calon Tenaga Kerja Indonesia yang diterbitkan oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota. Ketika dokumen terkait telah dilampirkan dengan lengkap, dan memuat data berupa Nama, tanggal lahir,tempat lahir, dan nama orang tua, sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 Ayat (2), maka permohonan paspor tidak dapat dilakukan penangguhan permohonan paspor.

Penangguhan permohonan paspor sendiri, sesuai dengan Permenkumham Nomor 8 Tahun 2014, pada Pasal 17, hanya dapat dilakukan apabila Pejabat Imigrasi menemukan kecurigaan terhadap persyaratan permohonan, keterangan Pemohon, dan/atau keabsahan dokumen asli persyaratan, permohonan dapat ditangguhkan untuk dilakukan penelitian atau pemeriksaan lebih lanjut. Pasal tersebut menegaskan bahwa haram hukumnya bagi Kantor Imigrasi untuk menolak permohonan paspor selama berkas yang diberikan dianggap lengkap. Hal ini menegaskan bahwa posisi imigrasi dalam perlindungan pekerja Migran Indonesia hanya sebatas pada pernerbitan paspor saja.

Perlunya Harmonisasi Aturan

Direktorat Jenderal Imigrasi sendiri sebenarnya memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yang juga disebut dengan trifungsi Imigrasi. Fungsi tersebut adalah sbagai Pelayan Publik, Penegakan Hukum dan Keamanan Negara serta Fasilitator Pembangunan Masyarakat. Namun, peraturan Keimigrasian yang membatasi lingkup ruang Direktorat Jenderal Imigrasi yang hanya dapat menindak pelanggaran Keimigrasian membuat berbagai potensi pelanggaran, terutama di bidang Ketenagakerjaan sulit untuk ditindak sejak awal, karena apabila pada proses wawancara paspor terdapat potensi pelanggaran, yang diperkirakan akan mengancam Calon Pekerja Migran Indonesia (PMI), namun dokumen yang diberikan lengkap maka pihak Imigrasi tidak dapat melakukan tindakan Hukum.

Kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan sangat perlu untuk diperkuat melalui peraturan terkait, tanpa menabrak batas-batas wewenang. Kerjasama dalam bidang perlindungan Calon PMI pada masa Sebelum bekerja harus ditingkatkan antar instansi terkait, semisal Kementerian Ketenagakerjaan yang dapat memberikan akses data kepada Direktorat Jenderal Imigrasi terkait profiling perusahaan penyalur tenaga kerja, ataupun terkait dengan prosedur yang harus ditempuh bila dalam proses wawancara paspor terdapat potensi kejahatan transnasional dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Hal ini sangat penting, agar supaya bila terdapat potensi pelanggaran dalam bidang ketenagakerjaan, maka dapat terdeteksi lebih dini.
Selain itu, penyesuaian-penyesuaian aturan Pemerintah dengan aturan yang diterapkan oleh ILO juga sangat perlu. ILO sendiri membedakan aturan yang digunakan untuk Pekerja Migran yang bekerja di bidang Non-Kelautan, dan Pekerja Migran yang bekerja di bidang Kelautan dan Perikanan, dikarenakan karakteristik yang cukup berbeda. Salah satu manfaat bila aturan Pemerintah telah sesuai dengan aturan ILO, maka bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak Pekerja Migran Indonesia di luar negeri, tindakan hukum yang diperlukan dapat langsung dilaksanakan oleh otoritas terkait. Demikian, tulisan ini dibuat agar perlindungan bagi pahlawan devisa yang sedang berjuang di luar negeri dapat lebih maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun