Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, menyimpan berbagai potensi baik pada potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Secara ekonomi, Indonesia merupakan negara yang memiliki Gross Domestic Product (GDP) nomor 16 (enam belas) terbesar di dunia, dengan total GDP Nasional sebesar US$932 Miliar. Â
Potensi ekonomi dan sumberdaya baik alam maupun manusia yang luar biasa negara Republik Indonesia, membuat kedaulatan negara menjadi penting. Kedaulatan Negara kerap diidentikkan dengan suatu sifat atau ciri hakiki dari suatu negara, dimana negara tersebut memiliki wewenang untuk mengatur sebuah wilayah tertentu, tetapi mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas- batas wilayah negara itu. Serbuan sumber daya asing yang hampir tak terbendung dewasa ini membuat sebuah pertanyaan tercetus, seberapa berdaulatkah kita di tanah air sendiri?
Mulainya Era Keterbukaan
Sejak diberlakukannya era pasar bebas oleh World Trade Organisation (WTO) pada tahun 2000, praktis banyak negara mulai mengimplementasikan kesepakatan Regional Trade Agreement (RTA) dengan negara lain, yang memiliki tujuan utama meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sumberdaya mereka.Â
Era keterbukaan ekonomi kawasan dimulai dengan pembentukan Uni Eropa, melalui Maastricht Treaty yang ditandatangani pada tahun 1993. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti melalui pembentukan mata uang Euro pada tahun 2002. Pencapaian penting dari integrasi ekonomi di kawasan Uni Eropa ini ditandai dengan diratifikasinya Lisbon Treaty pada tahun 2007 yang meningkatkan integrasi Eropa dengan menghilangkan batas-batas politik dan identitas negara dengan menjadikan Eropa menjadi satu komunitas ekonomi terintegrasi yang membebaskan lalu lintas kapital, barang jasa, dan sumber daya manusia diantara mereka. Integrasi ekonomi tersebut terbukti meningkatkan stabilitas ekonomi dan pemerataan kawasan, yang juga meningkatkan kekuatan geo politik Uni Eropa di kancah Internasional.
Langkah Uni Eropa tersebut tersebut diikuti oleh negara-negara ASEAN dengan membentuk ASEAN Community melalui ratifikasi Piagam ASEAN pada tanggal 15 Desember 2008. Ratifikasi piagam ini memiliki dampak yang besar terhadap kebijakan Keimigrasian di regional Asia Tenggara. Ratifikasi piagam ASEAN ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Visa Exemption yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2009. Praktis semenjak disahkannya Peraturan Presiden tersebut, maka berlaku bebas visa untuk 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN, dimana mereka bisa dengan bebas mengunjungi negara satu dan lainnya.Â
Pembebasan Visa, Tepatkah?
Pembebasan Visa ini memberikan dampak positif secara regional, dimana sektor pariwisata adalah sektor yang paling terdampak. Kunjungan wisatawan mancanegara dari kawasan ASEAN dan Asia Pasifik menurut data BPS, hanya berkisar 4.917.083 wisatawan di tahun 2009, setelah 5 (lima) tahun berjalannya kebijakan pembebasan visa kunjungan, wisatawan dari kawasan tersebut meningkat menjadi 8.096.372 di tahun 2015. Peningkatan yang cukup signifikan tersebut meningkatkan share sektor pariwisata hingga 9 persen dari total Gross Domestic Product (GDP) Nasional. Melihat perkembangan positif dari tahun ke tahun, maka pada tahun 2016, diberlakukan Kebijakan bebas visa yang diterapkan terhadap 169 negara.Â
Pembebasan terhadap 169 negara tersebut direalisasikan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 21 Tahun 2016. Tentu saja, terdapat berbagai dampak positif terkait dengan kebijakan pembebasan visa tersebut. Secara ekonomi, terutama pada sektor pariwisata, kebijakan tersebut memiliki dampak positif, dimana hanya dalam 1 (satu) tahun wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia meningkat yang awalnya hanya 11.519.275 di tahun 2016, menjadi 14.039.799 di tahun 2017.Â
Bahkan, dikarenakan kemudahan prosedur Keimigrasian yang diberikan, skor kemudahan berbisnis Indonesia di kawasan ASEAN termasuk tinggi, mencapai 67,96 di tahun 2019 yang mengalahkan Filipina dan Kamboja, yang juga berdampak positif terhadap iklim bisnis dan investasi nasional. Secara makro, kebijakan bebas visa tersebut mampu mengerek pertumbuhan ekonomi nasional hingga diatas 5 persen. Kemudian, investasi dan penyerapan tenaga kerja juga semakin meningkat dengan adanya kebijakan tersebut, dimana pada tahun 2017 tingkat pengangguran hanya berkisar 5.5 persen.