Kilas Balik Krisis Sampah di Pemalang
Permasalahan sampah di Kabupaten Pemalang telah menjadi isu menahun, namun kejadiannya tidak pernah hingga sememprihatinkan ini. Krisis sampah yang berlangsung sejak November 2024 hingga saat ini berakar dari penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pesalakan. Keputusan ini memicu efek domino yang mengakibatkan penumpukan sampah di berbagai wilayah Pemalang.
TPA Pesalakan, yang terletak di Dukuh Pesalakan, Desa Pegongsoran, adalah lokasi utama pembuangan sampah di Pemalang. Penutupan TPA ini didesak oleh warga sekitar yang tergabung dalam Aliansi Warga Dukuh Pesalakan. Mereka merasa terganggu oleh bau busuk yang berasal dari gunungan sampah, serta citra negatif yang melekat pada wilayah tersebut. Warga kerap menjadi bahan olokan karena wilayah Pesalakan dianggap sebagai "tempat sampah."
Selain itu, TPA Pesalakan sempat dilanda kebakaran pada September 2023 yang terulang kembali pada Agustus 2024, diduga akibat cuaca panas dan kering yang ekstrem. Kejadian ini semakin memperkuat desakan warga kepada Mansur Hidayat, S.T., M.Ling., yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Pemalang, untuk menutup TPA tersebut.
Pada 22 Mei 2023, Plt Bupati Pemalang bersama Pj Sekda menyepakati proses penutupan TPA Pesalakan, dengan target akhir operasional pada 30 Juni 2024. Sejak 1 Juli 2024, TPA Pesalakan resmi ditutup, tidak ada lagi aktivitas pembuangan sampah ke tempat ini. Naasnya krisis darurat sampah yang lebih serius pun mulai terjadi.
Penumpukan Sampah di TPS dan Jalan Umum
Penutupan TPA Pesalakan menyebabkan sampah tidak lagi memiliki tujuan akhir. Truk-truk pengangkut sampah yang sudah penuh muatan terpaksa hanya terparkir di kantor UPT Persampahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemalang karena tidak dapat membuang muatan mereka. Akibatnya, truk-truk tersebut tidak mampu mengangkut sampah baru dari tempat penampungan sementara (TPS) di desa-desa, sehingga TPS menjadi penuh dan meluap hingga ke jalanan.
Beberapa warga, yang putus asa karena tidak dapat membuang sampah di dalam TPS, menempuh pemikiran pendek dengan membuang sampah rumah tangga mereka di tepi jalan. Salah satu lokasi yang terdampak adalah di depan TPU Ancak Suci di Jalan Pemuda. Beberapa TPS, seperti di Taman Jetis dan Bojongbata, bahkan menyebabkan penyempitan hingga penutupan jalan karena tumpukan sampah yang menggunung.
Kondisi ini tentu saja dapat memperburuk citra Kabupaten Pemalang—walau selama ini Pemalang belum dikenal luas. Sampah yang meluber di jalan-jalan sejak September hingga awal Januari menambah beban warga dan membuat beberapa ruas jalan desa tidak bisa dilalui. Lokasi seperti TPS di Bojongbata (Jl. Anggur), TPS Bojongbata (Jl. Karimata), dan pembuangan sampah di kolong tol ruas jalan Banjardawa-Penggarit menjadi potret nyata dari krisis ini.
Entah mengapa tidak ada tindakan serius dari pemkab, mungkin mereka sedang terlena pada kontestasi pilkada. Bupati Pemalang Mansur Hidayat yang berpasangan dengan Bobby Dewantara pada saat itu maju sebagai calon bupati nomor urut dua melawan pasangan Vicky Prasetyo-Suwendi dan Anom-Nurkholes. Sejak 24 September 2024 jabatan bupati dipegang Pjs. Agung Hariyadi. Namun Mansur sudah menjabat lagi sedari 24 November, yang berarti sudah ada sebulan lebih permasalahan darurat sampah di pundak bupati definitif.
Aksi Demonstrasi Hingga Saling Somasi
Warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPEL) akhirnya menggelar aksi protes pada 30 Desember 2024. Dalam unjuk rasa tersebut, dua truk sampah menuangkan muatannya di depan kantor Bupati Pemalang di Jalan Surohadikusumo. Aksi ini menjadi simbol "darurat sampah" yang dialami Pemalang.
Setelah protes ini, Pemkab Pemalang mengadakan dialog dengan AMPEL. Sebagai solusi sementara, AMPEL menawarkan penggunaan metode penimbunan sampah (landfill) di Desa Danasari, yang lahannya seluas 2.900 meter persegi. Ketua AMPEL, Muliadi, menyebutkan bahwa warga Danasari legawa dengan rencana ini demi mengatasi masalah sampah yang menumpuk.
Pemkab juga berencana membangun Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Susukan dengan kapasitas 300 ton per hari. Selain itu, Mansur mengungkapkan bahwa pemerintah telah melakukan negosiasi dengan warga Pesalakan untuk membuka kembali TPA Pesalakan. Pemerintah juga menjanjikan revitalisasi TPA dengan investasi miliaran rupiah, termasuk pembangunan fasilitas pengelolaan sampah yang melibatkan masyarakat setempat.
Pada surat yang bertanggal 31 Desember 2024, Pemkab tiba-tiba melayangkan somasi kepada AMPEL, menuntut ganti rugi dan permohonan maaf terbuka atas aksi pembuangan sampah yang dilakukan di depan kantor bupati. Langkah ini memicu kemarahan publik, warganet menilai pemerintah justru fokus pada tindakan represif ketimbang mencari solusi. “Wagu, jangan takut”, “Pimen sih bupatine, anti kritik”, “Jangan takut kita sama2 berjuang kita sama2 punya hak untuk hidup sehat. Rakyat cuma minta lingkungan bersih” tutur warganet pada postingan akun Headline news pemalang tentang somasi yang dilayangkan Pemkab.
Keesokan harinya, warga Kecamatan Randudongkal yang mengatasnamakan Aliansi Peduli Lingkungan (APEL) membalas melayangkan somasi kepada Diskoperindag. Mereka menyampaikan keberatan sekaligus menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan sampah, terutama di area belakang Pasar Randudongkal.
Pada akhirnya, polemik saling somasi ini berakhir dengan jalan damai. Somasi pemerintah akhirnya dicabut pada 2 Januari 2025 setelah tekanan dari masyarakat. Namun, langkah pemerintah yang membalas aksi protes damai dengan somasi telah menimbulkan kesan negatif di mata masyarakat, semakin mencoreng citra Pemkab di tengah krisis ini.
Metode Landfill Dipilih Guna Mengatasi Darurat Sampah
Sebagai respons darurat sampah, Pemerintah mulai menerapkan metode landfill. Lokasi yang sudah dieksekusi adalah di barat lapangan sepak bola Bojongbata. Mulai hari Sabtu, 11 Januari 2025 dilakukan pengerukan dan penimbunan sampah menggunakan alat berat. Meski langkah ini dapat mengurangi tumpukan sampah, masyarakat mempertanyakan dampaknya terhadap lingkungan. Penimbunan sampah dinilai berisiko mencemari tanah dan air, terutama karena adanya mikroplastik dan logam berat dalam sampah yang tidak terkelola dengan baik.
Dikutip dari akun media sosial DLH Jawa Barat, metode landfill dapat menyebabkan pencemaran tanah dan air. Mikroplastik dan logam berat yang ada dalam sampah yang ditimbun dapat menjadi pencemar di masa mendatang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Pemalang, yang berharap solusi lebih berkelanjutan.
Harapan Masyarakat untuk Solusi Jangka Panjang Darurat Sampah Pemalang
Masyarakat Pemalang menginginkan solusi yang lebih konkret dan ramah lingkungan. Kabupaten Banyumas dapat dijadikan contoh dengan keberhasilannya menerapkan konsep "Zero Waste to Landfill" terbaik di ASEAN. Melalui pembangunan TPS Terpadu, TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle), dan Pusat Daur Ulang, Banyumas mampu mengelola sampah secara efektif.
Pemkab Pemalang diharapkan dapat mengambil pelajaran dari keberhasilan tersebut. Langkah-langkah strategis diperlukan untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik, memperbaiki citra Kabupaten Pemalang, serta memastikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat. Semua pihak berharap, krisis ini menjadi momentum bagi Pemalang untuk berbenah dan menghadirkan perubahan nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H