Mohon tunggu...
Thoriq Achmad Daf Assaili
Thoriq Achmad Daf Assaili Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga

Progresif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Affair Komune Paris 1871

15 Juni 2023   14:30 Diperbarui: 15 Juni 2023   14:33 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paris menjadi kota di mana sejarah mencatat ada satu prestasi yang patut diapresiasi atas keberanian kaum proletar selama terjadinya revolusi di Eropa. Maret 1871, “Vive la Commune!” bergemuruh di sekujur tubuh Paris. Pemerintahan borjuis yang sewenang-wenang berhasil direbut oleh kelas pekerja. Pemerintahan berhasil dijalankan di bawah kepentingan publik, dengan kata lain: demokratis. Revolusi membangkitkan tekad kelas pekerja untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dari absolutisme penguasa masa itu.

Sejarah Revolusi Prancis tak lepas dari sejarah feodalisme yang kemudian melahirkan kelas sosial baru, yaitu golongan borjuis dan proletariat, sekaligus menciptakan konflik sosial baru. Hal ini bermula sejak runtuhnya kekaisaran Romawi. Di kisaran abad V hingga XV inilah proses perubahan sistem sosial berlangsung. Masa kekaisaran Napoleon menjadi penanda pernah terjadinya ketegangan ini.

Pada saat itu, kelas sosial di Prancis terbagi menjadi tiga golongan: golongan bangsawan, golongan rohaniawan, dan golongan rakyat jelata. Dua golongan pertama tentu memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh golongan terakhir, yang dalam praktiknya jauh dari privilege atau hak-hak yang bisa didapatkan secara adil sebagaimana yang didapatkan oleh golongan bangsawan dan rohaniawan. Namun, sebenarnya ketiga golongan tersebut terbagi lagi menjadi beberapa macam, sehingga tidak layak untuk menggeneralisasi perilaku sosial hanya berdasarkan klasifikasi tersebut. Karena secara historis, sebagian dari golongan bangsawan maupun rakyat jelata ada yang berjuang bersama untuk mengubah tatanan sosial yang feodal pada saat itu.

Sejarah revolusi di Prancis berkaitan dengan kondisi masyarakat feodal pada saat itu dan muasal kemunculan golongan borjuis yang kemudian menjadi partisan utama revolusi melawan absolutisme di Prancis. Golongan borjuis merupakan manifestasi dari golongan jelata yang mulai putus asa dengan tatanan sosial di dalam masyarakat feodal yang selalu tidak menguntungkan mereka, memperlakukan mereka sebagai “sapi perah” feodalisme. Sehingga, menjelang abad X, banyak dari kaum buruh dan pekerja kasar yang bertekad untuk membangkitkan kondisi perekonomian mereka, didorong oleh kesadaran bahwa untuk dapat meningkatkan kelas sosial mereka, kekayaan adalah kuncinya. Mereka pun melakukan urbanisasi, sehingga muncullah penduduk kota baru atau “bourg”. Konsistensi dalam membangun kondisi perekonomian mereka ini membuahkan hasil, hingga golongan ini mulai berkembang pada abad X sampai XIII dan membentuk kelas sosial baru di luar tatanan masyarakat feodal.

Memasuki abad XIV, golongan borjuis tidak hanya berkembang di sektor perekonomian. Berbekal kondisi perekonomian yang mulai bersaing dengan golongan bangsawan, mereka juga mengembangkan pengetahuan di bidang hukum dan politik. Pada abad ini golongan borjuis juga mulai memasuki lingkungan pemerintahan. Ilmu pengetahuan dan kesadaran politik pun memasuki kesadaran golongan borjuis dalam upaya mereka menaikkan kelas sosialnya. Mereka menyadari, dengan mendekati kursi kekuasaan mereka juga akan mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana halnya para bangsawan. Kebijaksanaan dalam mengelola perekonomian dan keterampilan sosialnya ini yang kemudian juga membuat golongan atas politik (bangsawan dan rohaniawan) merasa wilayah kewenangan dan keistimewaan mereka mulai direbut golongan borjuis. Periode ini berlangsung hingga abad XVIII atau yang disebut masa pencerahan (aufklarung).

Namun, kegelisahan golongan bangsawan dan rohaniawan atas terancamnya previlege mereka tidak lagi memberikan kejayaan bagi mereka. Memasuki 1789, Prancis, di bawah kepemimpinan Raja Louis XVI, mengalami keterpurukan ekonomi. Penyebab utamanya adalah absolutisme kerajaan dan kehidupan glamor golongan atas politik. Kondisi ini menyebabkan kerajaan mendapatkan desakan dari rakyat jelata. Golongan borjuis, yang sudah mulai memperbaiki kondisi perekonomian dan kelas sosial mereka sehingga mendapatkan tempat di pemerintahan, membawa desakan ini pada rapat besar yang diadakan oleh Etats Generaux atau dewan perwakilan rakyat, pada tanggal 5 Juni.

Dewan ini beranggotakan 291 orang dari kalangan bangsawan, 300 dari kalangan gereja, dan 610 dari rakyat jelata. Tujuan awal rapat besar yang diadakan adalah membahas kondisi perekonomian Prancis saat itu sekaligus membicarakan solusinya. Namun, mekanisme pengambilan suara dalam rapat tersebut sangat tidak memihak kaum jelata. Sehingga, pada 17 Juni, dewan perwakilan dari golongan rakyat jelata mengadakan sidang sendiri atas dasar ketidakpuasan dari pelaksanaan Sidang Etats Generaux sebelumnya. Tentu saja hal ditentang oleh Louis XVI yang mengatakan bahwa rapat tersebut tidak sah. Tidak hanya itu, pihak kerajaan juga melakukan tindakan represif terhadap rakyat jelata. Sejumlah penduduk sipil kemudian ditangkap dan dipenjarakan.

Ketegangan ini meruncing pada tanggal 14 Juli. Rakyat secara massal menyerbu Penjara Bastille untuk membebaskan para tahanan yang tidak berdosa akibat absolutisme dan represifisme Louis XVI. Peristiwa ini dikenal sebagai momen paling monumental yang menjadi sumbu utama terjadinya Revolusi Prancis. Revolusi ini berhasil menggerakkan massa dari rakyat jelata yang dimotori oleh golongan borjuis yang memiliki akses meroda pemerintahan meskipun jumlahnya sedikit. Namun, siapa sangka, seperti yang dikatakan oleh Vijay Prashad, “Pemberontakan mereka direbut dari mereka, entah melalui kecurangan saat kelas borjuis yang kecil namun berkuasa memakai pemberontakan massa untuk maksud-maksud mereka sendiri ...”. 

Pada hari itu pula, golongan borjuis mulai menduduki statifikasi sosial tertinggi dan mengambil alih wewenang penentuan sistem pemerintahan di Prancis. Hingga pada tahun 1799, golongan borjuis dapat memenangkan kontestasi politik dari golongan bangsawan yang saat itu masih menganut sistem monarki. Monarkisme mencemaskan rakyat. Napoleon Bonaparte, yang digadang-gadang dapat menjadi pemimpin revolusioner mereka, kemudian mendapatkan tampuk kekuasaannya karena prestasinya memenangkan perang melawan Australia dan Rusia.

Pada 1804, Paus VII kemudian melantik Napoleon menjadi kaisar. Keberhasilan Napoleon dalam menggagas ide-ide revolusioner di dalam sistem pemerintahan mendapatkan simpati dari rakyat. Namun, sebenarnya pada masa kekuasaan Napoleon, absolutisme tidak benar-benar hilang. Kekaisaran lahir. Sekelompok rakyat kelas pekerja mencemaskan keadaan ini.

Paris 1871

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun