hukum kejaksaan pemiliki peran yang amat vital, selain menjadi wakil negara dalam setiap persidangan, kejaksaan juga dapat menentukan suatu tindak pidana dapat diteruskan ke meja hijau atau tidak. Kejaksaan tidak selalu sebagai corong undang-undang, tetapi dapat bertindak lebih jauh dengan menciptakan penegakkan hukum yang humanis melalui penerapan keadilan restoratif.
Dalam penegakkan1. Kaidah Hukum yang Menjadi Dasar Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia
Menurut Mardjono Reksodipoetro sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.[1] Setiap tindakan kejahatan yang masuk ke peradilan akan diidentifikasi, dituduh, diadili, dan kemudian dihukum sesuai ketentuan. Dalam sistem peradilan pidana terdapat 5 institusi/lembaga yang berperan yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. Keadilan restoratif dapat dilaksanakan tanpa harus menggelar persidangan. Kasus dapat dihentikan pada saat penyelidikan, penyidikan, ataupun saat dilimpahkan ke Kejaksaan. Pada ranah penyelidikan dan penyidikan keadilan restoratif dapat diterapkan dengan syarat dan kondisi tertentu. Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana menyatakan sebagai beritut :
- Tindak pidana tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat untuk menerapkan keadilan restoratif.
- Tidak menimbulkan konflik sosial.
- Para pihak pelaku, korban, dan pihak terkait tidak keberatan dan melepaskan hak menuntutnya dihadapan hukum.
- Pelaku bukan merupakan residivis dan tingkat kesalahan relatif ringan.
- Surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) belum dilimpahkan ke Kejaksaan.
Sementara pada ranah Kejaksaan penghentian penuntutan dapat dilakukan berdasarkan Pasal 14 huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penghentian tersebut dilakukan oleh karena kepentingan hukum. Keadilan restoratif dapat dilakukan dengan syarat yang terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 sebagai berikut :
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 tahun.
- Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Keadilan restoratif sejatinya sudah sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28D “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa akan menyebabkan sarana pemidanaan itu menjadi suatu pengancam yang utama.[2] Penjara akan dijadikan sarana balas dendam diantara masyarakat yang berkonflik. Padahal tujuan dari pemidanaan adalah agar seseorang tidak mengulangi kesalahannya lagi, dan pembinaan sekaligus kepada pelaku dan masyarakat.
Keadilan restoratif saat ini hanya bisa dilaksanakan pada kasus tindak pidana ringan. Hal itu karena pada tindak pidana ringan kerugian yang diderita korban tidak terlalu besar dan tidak terlalu membahayakan korban. Setelah lahirnya PERMA Nomor 2 Tahun 2012, besar kerugian yang semula ditetapkan oleh KUHP Rp 250,00 untuk dikatakan sebagai tindak pidana ringan diubah menjadi Rp 2.500.000,00. Perubahan itu dilakukan karena dirasa nilai mata uang rupiah yang sudah tergerus oleh inflasi. Berkaca juga dari kasus Nenek Minah dimana 3 buah kakao yang ia ambil harganya tidak sampai Rp 10.000,00. Dalam KUHP tindak pidana ringan mencakup hal berikut :
- Pasal 364 Pencurian
- Pasal 373 Penggelapan
- Pasal 379 Perbuatan Curang
- Pasal 384 Perbuatan Curang
- Pasal 407 Mengancurkan atau Merusak Barang Orang Lain
- Pasal 482 Penadahan Ilegal
Kasus-kasus diatas merupakan kategori tindak pidana ringan yang diancam dengan penjara maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp 2.500.000,00.
2. Implementasi Keadilan Restoratif Pada Tindak Pidana Ringan
Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang relatif kecil dan tidak membahayakan korban. Utrecht mendeskripsikan tindak pidana ringan, menggunakan istilah kejahatan enteng terjemahan dari kata Lichte Misdrijven dalam bahasa Belanda.[3] Selama ini tindak pidana ringan telah mendapat reaksi yang cukup keras di masyarakat, karena penanganan kasusnya tidak sesuai proporsionalnya. Ketimbang pelaku korupsi miliyaran, pelaku tindak pidana ringan justru mendapat perlakuan yang kasar dan bengis dari aparat penegak hukum. Berdasarkan sebuah penelitian bahwa pemberian sanksi pidana pada tindak pidana ringan tidak berjalan sesuai semestinya, hal ini disebabkan karena[4] :
- Pemberian efek jera yang dilakukan tidak berjalan dengan baik.
- Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah.
- Rumusan peraturan yang diterapkan pada tindak pidana ringan banyak yang sudah tidak sesuai.
- Pola pikir masyarakat dan penegak hukum yang masih beranggapan “ada uang masalah selesai” menyebabkan masih berulangnya tindak pidana ringan.
Selain itu, kegagalan dalam sistem peradilan pidana pada proses pemidanaan yang merampas hak merdeka manusia juga menimbulkan dampak negatif. Proses merendahkan manusia yang dinyatakan sebagai narapidan telah melekat dipikiran masyarakat, menyebabkan narapidana yang sudah menjalani proses menjadi sulit dalam menjalani kehidupan. Tahanan justru menciptakan mental penjahat antar narapidana, tidak berjalannya proses pemidanaan pada narapidana dengan masa hukuman pendek, justru malah menciptakan penjahat baru.
Tahanan dijadikan pendidikan untuk berbuat jahat.[5] Oleh karena tuntutan publik, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam ketatanegaraan Indonesia mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang menyesuaikan batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kewenangan itu dikeluarkan sesuai dengan fungsi pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung agar tidak terhambatnya proses peradilan karena tidak sesuainya hukum acara yang berjalan.[6]
Peraturan Mahkamah Agung yang dikeluarkan tersebut adalah penyesuaian terhadap besaran denda. Namun, sanksi yang diterapkan pada pelaku masih sama yaitu 3 bulan. Bahwa telah disebutkan penerapan sanksi pidana penjara pada pelaku tindak pidana ringan adalah tidak efektif dan justru menciptakan mental penjahat yang baru. Selain itu pidana penjara juga menambah beban Lembaga Pemasyarakatan yang telah penuh (overcrowded). Tren di berbagai negara saat ini menunjukkan adanya penggunaan bentuk penghukuman (punishment) alternatif di luar penggunaan hukuman penjara. Perubahan orientasi seperti ini disebabkan karena kebutuhan praktis, yaitu dalam mengatasi overcrowded. Indonesia juga sudah memiliki bentik alternatif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang merupakan pengejawantahan dari konsep diversi dalam membangun hukum yang berkelanjutan.[7]
Agar memudahkan penegakkan, kemudian lahirlah Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini ditunjukkan sebagai respon untuk menangani permasalah tindak pidana ringan yang sesuai dengan tujuan pidana yaitu memilihkan keadaan seperti semula, sehingga terjadinya kembali keseimbangan serta perlindungan terhadap korban. Mediasi dan kesepakatan sangat ditekankan untuk tercapainya keadilan restoratif dan pelaku juga dapat merasakan hal yang korban alami atas perbuatannya. Hal ini tidak bisa ditemukan dalam keadilan retributif, karena kepentingan korban diwakili oleh negara. Negara memandang bahwa kejahatan merupakan suatu tindakan yang melawan aturan negara dan pelaku harus dihukum atas perbuatannya.[8] Selain itu, korban tidak bisa mengutarakan keinginannya secara langsung. Pada pelaku juga, dirinya tidak mendapat pelajaran dan hanya sekedar mendapat hukum yang pantas tanpa harus memperbaiki hubungannya dengan korban. Bisa saja korban dalam keadilan retributif tidak memaafkan perbuatan pelaku, hal ini tentu memunculkan perasaan dendam yang tidak baik sebagai sesama anak bangsa.
3. Solusi Pemberian Hukuman Dalam Keadilan Restoratif
Dalam penegakkan hukum dikenal pendekatan keilmuan dengan tujuan untuk membangun hukum yang berkelanjutan. Dewasa ini, pendekatan keilmuan jarang dipakai dan cenderung menggunakan sifat praktis dari hukum itu sendiri. Adanya penurunan kualitas pendekatan keilmuan (yang di dalamnya mengandung pendekatan nilai/moral/hatu nurani, objektif, sistemik/integral), hal ini dapat terlihat dari fenomena, antara lain[9]:
- Adanya realitas seperti “budaya amplop”, “budaya materi”, atau “budaya permainan kotor/tercela (mafia peradilan)”. Kemudian dalam praktik penegakkan hukum terdapat istilah “transaksi hukum/perkara”, “calo perkara”, “makelar kasus”, “pemerasan”, “jual beli tuntutan/putusan”. Anggapan yang berkembang di masyarakat tersebut merupakan bukti lemahnya budaya keilmuan.
- Banyaknya kasus tanpa menghadirkan ahli hukum, karena dianggap para penegak hukum sudah paham akan hukum. Hal ini merupakan fenomena yang keliru, bahwa seharusnya penegak hukum dapat menggali lebih dalam terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi.
- Budaya melihat dengan “kacamata kuda”, dengan berpatokan hanya kepada undang-undang tanpa melihat asas-asas, kebudayaan, hukum tidak tertulis, atau tujuan pemidanaan itu sendiri. Banyak penegak hukum yang hafal akan tuntutan undang-undang, tetapi mengabaikan nilai dasar seperti “keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pemberian hukuman (punishment) tidak selalu harus berkaitan dengan penjara. Terkait dengan pengaruh buruk dari pidana penjara bagi narapidana dengan masa hukuman pendek, pernah dikemukakan alternatif selain pidana penjara yaitu sanksi kerja sosial (community service order), hal tersebut dikemukakan dalam The Fourth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders (1970), kemudian di The Fifth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders (1975), serta dalam Handbook of Basic Principles and Promising Practice on Atternatives to Imprisonment.[10] Di beberapa negara-negara Eropa telah menerapkan jenis pidana sanksi sosial sejak lama.
Inggris misalnya, pidana kerja sosial diterapkan sejak 1973 dengan nama Community Service Order. Karena sifatnya adalah untuk memidanakan maka kerja sosial ini tidak dibayar melainkan untuk mendidik dan menimbulkan efek jera. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilaksanakan di rumah sakit, panti asuhan, sekolah, atau lembaga sosial lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan terpidana. Pidana kerja sosial di Inggris terbukti relatif lebih murah jika dibandingkan dengan bentuk pidana yang lain, karena yang mendidik langsung adalah masyarakat.[11] Di Belanda sendiri pidana kerja sosial hanya dijatuhkan sebagai pidana pokok, pidana kerja sosial ialah pekerjaan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan masyarakat umum[12] dan tidak mengandung nilai komersial[13].
REFERENSI
1. Marjono Reksodipoetro. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta : Universitas Indonesia. Hlm.84-85.
2. Herbert L. Packer dalam Lilik Mulyadi. Op. Cit. Hlm.3.
3. Porlen Hatorangan Sihotang. 2020. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam Mewujudkan Restorative Justice (Studi di Polresta Deli Serdang). Iuris Studia Vol.1 No.2. Hlm.108. Diakses dari https://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris/article/view/37/34, diakses pada 14 Juli 2022.
4. Ika Wahyu Setyawati. 2013. Rekonstruksi Pemidanaan Kerja Sosial Pada Tindak Pidana Ringan Sebagai Upaya Pencegahan Berulangnya Tindak Pidana Ringan Di Indonesia. Recidive No.2 Vol.1. Hlm.48. Diakses dari https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/view/32004/21378, pada 13 Juli 2022.
5. Sapto Budoyo. 2019. Eksistensi Restorative Justice Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Meta-Yuridis Vol.2 No.2. Hlm.85. Diakses dari http://journal.upgris.ac.id/index.php/meta-yuridis/article/view/4689, pada 13 Juli 2022.
6. Lebih lanjut lihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bapas Polewali. 2021.
7. Keadilan Restoratif Dalam Penanganan Overcrowded Lapas. Diakses dari https://bapaspolewali.kemenkumham.go.id/berita-utama/keadilan-restoratif-dalam-penanganan-overcrowded-lapas, pada 14 Juli 2022.
8. Siaran Pers Kejaksaan. 2020. Wakil Jaksa Agung RI Membuka Bimbingan Teknis Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Diakses dari https://www.kejaksaan.go.id/siaranpers. php?idu=26&id=2381, pada 15 Juli 2022.
9. Barda Nawawi Arief. 2013. Kapita Selekta Arief. Bandung : Citra Aditya Bakti.Hlm.249.
10. Lidya Suryani Widyawati. 2013. Community Service Order As An Alternative For Short Prison Sentence. Kajian Vol.17 No.4. Hlm.571. Diakses dari https://dprexternal3.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/ 376/306, pada 15 Juli 2022.
11. Ika Wahyu Setyawati. 2013. Rekonstruksi Pemidanaan Kerja Sosial Pada Tindak Pidana Ringan Sebagai Upaya Pencegahan Berulangnya Tindak Pidana Ringan Di Indonesia. Recidive No.2 Vol.1. Hlm.50. Diakses dari https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/view/32004/21378, pada 13 Juli 2022.
12. Muhammad Fajar Septiano. 2014. Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Penjara Jangka Pendek. Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya. Hlm.17. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/ 35182-ID-pidana-kerja-sosial-sebagai-alternatif-pidana-penjara-jangka-pendek.pdf, pada 16 Juli 2022.
13. Komersial adalah dimaksudkan untuk diperdagangkan. Lihat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta : Pusat Bahasa. Hlm.794.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H