Perbaikan sistem dalam memulai pemodernisasian tingkat institusi harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, bukan hanya sebagai proyek sekali jadi yang kemudian ditinggalkan.Â
Kampus perlu melibatkan bukan hanya birokrat, tetapi juga mahasiswa yang memiliki kompetensi untuk berkontribusi dalam program pembangunan. Namun, seringkali muncul pertanyaan: seberapa baik kampus dan jajaran pegawainya dalam mengelola tata kampus sehingga mereka cenderung mengelola segala sesuatunya sendiri tanpa mengakomodir kompetensi para mahasiswanya?
Contoh kecil dari ketidakefektifan ini dapat dilihat pada pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) atau pengambilan SKS. Peralihan sistem dari konvensional ke elektronik seharusnya menjadi langkah maju. Namun, upaya kampus untuk memodernisasi sistem pengisian KRS dengan aplikasi C+ malah tidak berjalan efektif karena aplikasi tersebut tidak dikembangkan dengan baik.Â
Padahal, kampus tersebut memiliki dua jurusan yang berhubungan langsung dengan sistem komputer, yaitu Teknik Informatika (TI) dan Sistem Informasi (SI). Ironisnya, alokasi anggaran lebih banyak diarahkan pada pembangunan infrastruktur dibandingkan pengembangan fasilitas.
Jumlah mahasiswa yang terus bertambah seharusnya diiringi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, pembangunan gedung-gedung baru tanpa upaya pengembangan kualitas pendidikan hanyalah langkah kosong.Â
Mahasiswa seringkali protes terhadap tindakan rektor yang menaikkan Uang Kuliah Tetap (UKT), karena mereka merasa bahwa kualitas pendidikan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Gedung baru terus dibangun, namun kehadiran dosen justru sering absen. Apa artinya gedung dan fasilitas jika tidak ada pengajar yang kompeten?
Di sisi lain, skeptisisme terhadap proyek pembangunan juga muncul. Proyek pembangunan kampus bukanlah proyek kecil, dan akumulasi keuntungan dari proyek ini bisa dibagi berkali-kali lipat, seringkali kepada mereka yang mendukung proyek tersebut.Â
Sikap skeptis ini diperparah dengan sistem politik patron yang masih sering dirasakan di kampus, dimana para pejabat kampus seringkali menjadikan jabatan sebagai fasilitas tanpa memikirkan tanggung jawab yang seharusnya diemban.
Solusinya adalah kolaborasi antara dosen dan mahasiswa. Tidak hanya dalam ruang kelas, tetapi juga dalam forum-forum dan laboratorium pengembangan yang memfasilitasi mereka untuk berkembang. Implementasi pengembangan ini akan mengharumkan nama universitas dan meningkatkan kualitas di mata publik. Lulusan yang berkompeten menjadi preseden baik bagi para penerusnya.
Semoga ke depannya, institusi kampus manapun mau terus melakukan perbaikan secara bertahap dengan kolaborasi antara dosen dan mahasiswa, serta kerjasama di bidang-bidang spesifik yang dikembangkan institusi. Karena yang kita butuhkan bukan hanya kata-kata dan kalimat tentang kebanggaan dan keagungan, tetapi bukti nyata yang dapat terlihat jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H