Mohon tunggu...
warta nusantara
warta nusantara Mohon Tunggu... -

warta nusantara awalnya blog tulisan atau artikel sehari-hari, kasus dan fakta-fakta sosial yang ada di masyarakat, seiring perkembangan waktu karena byk kawan yang ingin menyumbangkan artikel maka warta nusantara menjadi domain dan tergabung dalam PEWARNA (Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjual Politik Kebencian

4 Maret 2018   21:05 Diperbarui: 4 Maret 2018   22:01 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2.      Masyumi  112 Kursi

3.      NU               91 Kursi

4.      PKI               80 Kursi

Dalam sejarah politik tercatat bahwa Pemilu tahun 1955 paling demokratis, juga dicatat keamanan diganggu oleh DI/TII (Darul Islam) Tentara Islam Indonesia dibawah pimpinan Karto Soewiryo. Polisi dan TNI ikut memilih pada Pemilu 1955.

Jumlah kursi yang diperebutkan 260, kursi konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 kursi wakil dari golongan minoritas. Pemilu tidak dilanjutkan pada tahun 1960. Hal ini diakibatkan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.

Walaupun dalam sejarah politik Soekarno banyak yang Otoritarian, kontroversial seperti Politik NASAKOM, perlu dicatat dan diingat Politik menyatukan anak bangsa Nation Building, Nawacita, dan politik luar negrinya the new emerging force, KTT Non Blok, Ganefo yang dikagumi diseluruh dunia pantas disebut bapak bangsa dan the Faunding Father.

Era Suharto

Pemilu pada masa kekuasaan Presiden Suharto disebut era orde baru diselenggarakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada era ini diawali dengan masa-masa transisi kepemimpinan Presiden Soekarno.

Diangkatnya Jenderal Soeharto menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, tidak membuatnya melegitimasi kekuasaanya pada masa transisi.

Bahkan ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar pemilu baru diselenggarakan dalam tahun 1968, dan kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-Gotong Royong (DPR-GR) bentukan Bung Karno, hanya saja dia melakukan "pembersihan" lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun