Bila saya memerhatikan dan mengikuti Kepemimpinan Presiden Jokowi selama 2 periode, saya selalu terganggu dengan pola komunikasi dengan masyrakat.Â
Apa yang dilakukan, sedang dikerjakan dan akan dilakukan Presiden Jokowi beserta jajaran Kabinetnya selalu gagal dipahami masyarakat. Padahal Presiden Jokowi memiliki Staf Khusus Presiden. Presiden Jokowi juga memiliki Tim Komunikasi Presiden.Â
Selain itu, Presiden juga memiliki Think Thanks Kepala Staf Presiden. Juga punya  Sekretaris Kabinet dan Sekretaris Negara. Dan yang tak kalah vitalnya, Presiden Jokowi juga memiliki Jubir Presiden. Tetapi hampir semua tak berfungsi dengan baik. Apa yang salah?
Bila kita bandingkan misalnya dengan Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 2 periode memimpin, kita harus jujur pola komunikasinya lebih baik bila disbanding kepemimpinan Jokowi.Â
Kita masih ingat betapa kuatnya peran Jubir Presiden SBY mulai dari Dino Patti Djalal, Andi Alvian Mallarangeng hingga Julian Aldrin Pasha. Bahkan kita hampir tak pernah mengenal sebelumnya siapa Julian Aldrin Pasha.Â
Tetapi sejak diberi peran sebagai Jubir Presiden SBY, Julian A Pasha mampu mengkomunikasikan dengan baik apa-apa yang perlu disampaikan dari istana ke masyarakat.
Kebalikannya di era Presiden Jokowi, justru Jubir Johan Budi yang begitu kuat karakternya sewaktu menjabat Jubir KPK tiba-tiba seperti tak punya kharisma saat ditunjuk sebagai Jubir Presiden Jokowi.Â
Bahkan bisa kita sebut, Johan Budi gagal sebagai Jubir Presiden Jokowi, karena hampir tak banyak yang bisa disampaikan oleh Johan Budi waktu itu sebagai Jubir. Demikian juga di periode kedua, Presiden mengangkat Fadjroel Rachman sebagai Jubir Presiden.Â
Setali tiga uang, meski sebelum diangkat jadi Jubir Presiden, Fadjroel Racman juga sosok yang kuat secara karakter, vokal namun pembawaannya tenang. Namun hampir sama dengan Johan Budi. Perannya sebagai Jubir Presiden Jokowi juga bisa dikatakan tidak jalan seperti diharapkan.
Mengapa Johan Budi dan Fadjroel Rachman gagal sebagai Jubir Presiden Jokowi?
Menurut pengamatan saya, ada beberapa hal yang membuat para Jubir ini gagal ditangan Jokowi, di antaranya:
Pertama, karakter Jokowi terlalu kuat. Dampaknya adalah media dan masyarakat lebih percaya kepada statemen Jokowi secara langsung dibanding dengan para pembantunya di istana Negara itu.Â
Sehingga media dan masyarakat selalu menunggu-nunggu pernyataan Jokowi secara langsung. Akibatnya, nilai jual berita (statemen) dari para pembantu Jokowi selalu berada di prioritas berikutnya.Â
Keadaan ini juga dipicu oleh Jokowi sendiri sebagai pribadi, yang terlalu gampang memberi statemen (pernyataan) kepada pers dimanapun dan diwaktu manapun.Â
Akibatnya insan pers selalu menunggu pernyataan langsung Jokowi. Daya tarik Jokowi sebagai berita masih terlalu kuat. Di satu sisi, ini bagus buat masyarakat, tetapi jeleknya adalah kharisma para pembantunya jadi turun.
Kedua, Jeleknya pola komunikasi antar lembaga kementrian di era Jokowi, sehingga kurang memberi materi yang mau disampaikan oleh Jubir Presiden kepada masyarakat.Â
Isu-isu yang dibangun oleh para pembantu Presiden berjalan sendiri-sendiri, tidak sinkron satu kementrian/Lembaga dengan K/L lainnya. Akhirnya, saling menonjolkan apa yang dilakukan oleh masing-masing K/L.
Akibatnya, isu-isu yang ingin disampaikan oleh Jubir tidak focus dan pada akhirnya didiamkan dalam map tertutup di Istana. Dan pada akhirnya masyarakat dan insan pers minim informasi yang di dapatkan.Â
Nah, begitu timbul masalah, semua menjadi gagap, karena tidak lancarnya komunikasi ke masyarakat. Dalam soal ini, kelihatan Kementrian/Lembaga itu berjalan sendiri-sendiri.
Ketiga, Kacaunya pengelolaan informasi di lingkungan istana Negara.
Bila kita flashback sedikit ke belakang, mari kita ingat bagaimana kuatnya peran Johan Budi menjaga, menaikkan pamor KPK dimasa dia sebagai Jubir KPK. Mengapa bisa terjadi seperti itu?Â
Sistem pengelolaan informasi di KPK itu sudah bagus. Komisioner KPK percaya dengan Jubir mereka. Sehingga apa yang disampaikan oleh Johan budi saat itu, ibarat emas.Â
Setiap ucapannya, setiap pernyataannya dalam jumpa pers bernilai berita tinggi. Selalu headline berita di berbagai Media elektronik dan Media mainstream, pun dalam media social.
Beda saat Johan Budi berbicara saat sebagai Jubir Presiden, ruh nya hilang. Mengapa? Karena pengelolaan informasi tadi. Terkadang apa yang mau disampaikan oleh Johan Budi sebagai Jubir, terkadang sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi terlebih dahulu.Â
Atau justru bahan-bahan yang mau diinformasikan oleh Johan Budi tidak terlalu special karena mungkin sudah disampaikan oleh Kementrian/Lembaga sebelumnya di tempat yang berbeda. Praktis Johan Budi tidak bersinar saat sebagai Jubir Presiden Jokowi.
Sepertinya Presiden Jokowi, tidak menyadari kegagalan Johan Budi sebagai Jubir, sehingga saat mengangkat Fadjroel Rachman pun sebagai Jubir Presiden di periode kedua ini, tidak membawa dampak apa-apa terhadap pola komunikasi Istana.Â
Masih tetap tidak produktif dan masih belum berfungsi sebagaimana kita pernah melihat kedigdayaan Jubir Presiden di Era SBY seperti Dino Patti Djalal, Andi Alvian Mallarangeng dan Julian Aldrin pasha, mereka kuat secara karakter dan kita bisa melihat ada perannya sebagai Jubir Presiden.
Keempat, besarnya peran influencer di era Jokowi. Salah satu kelemahan pola komunikasi di era Jokowi adalah terlalu seringnya Presiden Jokowi memanfaatkan peran influencer untuk mempromosikan berbagai isu atau program Presiden Jokowi.Â
Seringnya Presiden Jokowi mengundang para influencer ke Istana, sebenarnya mengkonfirmasi pada kita bahwa pengelolaan informasi yang dilakukan Istana gagal.Â
Bila istana bisa mendeliver isu atau kebijakan dengan baik lewat Jubir dan Tim Komunikasi Presiden, maka tidak perlu Presiden Jokowi banyak menggunakan jasa influencer.
Sadar atau tidak disadari, peran influencer yang diundang Jokowi ke istana kan tujuannya untuk membantu mengkomunikasikan isu ke masyarakat.Â
Tapi, ada satu hal yang tidak disadari oleh Presiden Jokowi yaitu kualitas para influencer itu tidak bisa dijamin. Akibatnya apa? Influencer sering melakukan blunder dan miss informasi, seperti apa yang dilakukan oleh Anji baru-baru ini tentang isu penemuan obat corona. Menjadi liar isu nya dan tidak produktif.
Bila pun Presiden Jokowi ingin menggunakan influencer, carilah influencer yang kuat secara narasi, bukan yang penting banyak follower-nya.
Melihat kegagalan ini, maka Presiden Jokowi perlu mengevaluasi pola komunikasi di lingkungan istana dan dilingkungan Kementrian/Lembaga, sehingga isu-isu bisa di manage dengan baik dan pada akhirnya Istana bisa mengelola dengan baik segala informasi.
Saran: sebaiknya Presiden Jokowi mengurangi jumpa pers, kembali lah serahkan kepada Jubir Istana dan Lembaga yang resmi seperti KSP, Setneg dan Seskab. Agar mereka bertanggung jawab terhadap berbagai isu yang ada. Bila semua harus kembali ke Presiden Jokowi, lalu fungsi mereka apa?
Pusatkan pengelolaan informasi itu melalui satu pintu sehingga komunikasi kepada masyarakat juga lewat satu pintu dan jelas tanggung jawabnya.
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H