Pertama, karakter Jokowi terlalu kuat. Dampaknya adalah media dan masyarakat lebih percaya kepada statemen Jokowi secara langsung dibanding dengan para pembantunya di istana Negara itu.Â
Sehingga media dan masyarakat selalu menunggu-nunggu pernyataan Jokowi secara langsung. Akibatnya, nilai jual berita (statemen) dari para pembantu Jokowi selalu berada di prioritas berikutnya.Â
Keadaan ini juga dipicu oleh Jokowi sendiri sebagai pribadi, yang terlalu gampang memberi statemen (pernyataan) kepada pers dimanapun dan diwaktu manapun.Â
Akibatnya insan pers selalu menunggu pernyataan langsung Jokowi. Daya tarik Jokowi sebagai berita masih terlalu kuat. Di satu sisi, ini bagus buat masyarakat, tetapi jeleknya adalah kharisma para pembantunya jadi turun.
Kedua, Jeleknya pola komunikasi antar lembaga kementrian di era Jokowi, sehingga kurang memberi materi yang mau disampaikan oleh Jubir Presiden kepada masyarakat.Â
Isu-isu yang dibangun oleh para pembantu Presiden berjalan sendiri-sendiri, tidak sinkron satu kementrian/Lembaga dengan K/L lainnya. Akhirnya, saling menonjolkan apa yang dilakukan oleh masing-masing K/L.
Akibatnya, isu-isu yang ingin disampaikan oleh Jubir tidak focus dan pada akhirnya didiamkan dalam map tertutup di Istana. Dan pada akhirnya masyarakat dan insan pers minim informasi yang di dapatkan.Â
Nah, begitu timbul masalah, semua menjadi gagap, karena tidak lancarnya komunikasi ke masyarakat. Dalam soal ini, kelihatan Kementrian/Lembaga itu berjalan sendiri-sendiri.
Ketiga, Kacaunya pengelolaan informasi di lingkungan istana Negara.
Bila kita flashback sedikit ke belakang, mari kita ingat bagaimana kuatnya peran Johan Budi menjaga, menaikkan pamor KPK dimasa dia sebagai Jubir KPK. Mengapa bisa terjadi seperti itu?Â
Sistem pengelolaan informasi di KPK itu sudah bagus. Komisioner KPK percaya dengan Jubir mereka. Sehingga apa yang disampaikan oleh Johan budi saat itu, ibarat emas.Â