Mohon tunggu...
Thomson Cyrus
Thomson Cyrus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, blogger, vlogger

Untuk Kerjasama, Bisa hub Kontak Email : thomsoncyrus74@gmail.com DM IG : @thomsoncyrus74

Selanjutnya

Tutup

Money

Inflasi Melambat, Mengapa Agus Martowardojo Ogah Turunkan BI Rate?

3 November 2015   16:07 Diperbarui: 3 November 2015   16:36 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai akhir tahun 2015, Indonesia masih merasakan perlambatan ekonomi, meskipun dana APBN 2015 sampai bulan oktober sudah terserap sekitar 70 persen. Dampaknya masih belum terlalu signifikan terhadap daya beli masyarakat. Itu dapat dipahami, sebab APBN, hanyalah salah satu stimulus pembangunan. Peranan swasta jauh lebih besar sebenarnya terhadap bergeliatnya ekonomi suatu bangsa.

Masalahnya, menggerakkan swasta untuk pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Itu sebabnya Presiden Jokowi sudah mengeluarkan 5 paket ekonomi untuk menggerakkan pembangunan yang ber-impact kepada meningkatnya daya beli masyarakat. Dalam soal ekonomi, tidak hanya peranan pemerintah saja yang diperlukan, Bank Indonesia sebagai lembaga independen yang mengatur moneter, juga berperanan cukup besar, oleh sebab masyarakat tidak dapat terpisah dari perbankan dalam soal ekonomi.

Saat pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi, dan akan keluar paket yang ke 6 hari rabu besok, Bank Indonesia sepertinya tidur, atau bahkan tidak melakukan apa-apa terkait BI Rate, sementara inflasi saat ini, sudah dikisaran 4 persen, BI rate masih tetap bertahan di posisi 7,5 persen.

Darmin Nasution, Menko Perekonomian, sudah mengisyaratkan secara halus, BI seharusnya sudah dapat menurunkan BI Rate-nya seperti saya kutip dari kompas.com 03 november 2015.

Ruang untuk menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) makin lebar, seiring dengan inflasi yang mengarah di bawah 4 persen hingga akhir tahun.

Dalam dua bulan terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks harga konsumen mencetak deflasi, masing-masing 0,05 persen pada September dan 0,08 persen pada Oktober.

“Sebetulnya dilihat dari (deflasi) itu, ada ruang untuk turunkan tingkat bunga. Kenapa BI belum menurunkan, saya juga enggak ngerti kenapa kira-kira. Dia (mungkin) masih takut sama goyang-goyang rupiah,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, Jakarta, Senin (2/11/2015).

Mantan Gubernur BI itu pun menjelaskan, dengan inflasi hingga akhir tahun yang diprediksikan mencapai 3,6 persen, artinya Real Interest Rate (RIR) makin jauh. RIR ini adalah selisih antara BI rate dengan inflasi.

“Nanti akhir tahun inflas kita 3,6 persen. Padahal BI rate 7,5 persen. Selisihnya hampir 4 persen. Biasanya bedanya 1 persen,” ucap Darmin.

Lantas apa yang bisa dilihat dari RIR yang lebar ini? Darmin mengatakan, orang-orang bakal lebih senang menyimpan uang, daripada meminjam uang dari bank.

Namun yang pasti, Darmin menyerahkan sepenuhnya urusan moneter kepada Agus DW Martowardojo beserta pertimbangannya.

“Kalau impact RIR-nya 4 persen tanya BI lah. Tapi intinya adalah kenapa dia enggak turunkan juga? Karena dia melihat kurs masih ada volatile. Kalau soal The Fed, itu urusan nanti,” ucap Darmin. 

Jika merujuk apa yang dikatakan oleh pak Darmin Nasution, seharusnya BI rate sudah turun. Lalu pertanyaannya adalah mengapa BI belum juga menurunkan BI Rate?

Seperti sudah pernah juga saya bicarakan dalam artikel saya sebelumnya, naga-naga nya Agus Marto sebagai Gubernur BI tidak terlalu profesional sebagaimana banyak diamati oleh para pengamat perbankan. Dan apabila dihubungkan keberanian dia mengkritik kebijakan Jokowi terkait, rencana Jokowi menghitung ulang harga bbm, maka layak juga kita menaruh curiga kepada Agus Marto, bahwa ada kepentingan lain yang dia mainkan.

Apalagi, jika ditelusuri ke belakang, Agus Marto adalah ekonom kesayangan SBY. Agus Marto adalah salah satu jejak tersisa SBY yang masih mempunyai pengaruh cukup signifikan di lingkungan pengambil kebijakan saat ini.

Keengganan Agus Marto untuk menurunkan BI Rate tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan BI Rate yang masih 7,5 persen, maka bunga kredit masih tinggi, sehingga kemampuan konsumsi masyarakat masih rendah.

Bunga bank akan tetap tinggi yang otomatis disesuaikan juga untuk bunga kredit properti, bunga kredit mobil, bunga kredit motor, bunga kredit pinjaman dan lain sebagainya yang membuat daya beli masyarakat masih rendah.

Seperti apa yang disampaikan oleh Darmin Nasution, dengan BI Rate 7,5 dan inflasi sekitar 4 persen, maka ada selisih RIR nya diatas 3 persen. Sementara selisihnya hanya berkisar 1 persen saja. Maka kita harus mendorong Gubernur BI menurunkan suku bunga, seberapa besar pun itu pasti akan berdampak terhadap daya beli masyarakat.

Dengan BI Rate yang masih tinggi, masyarakat lebih senang menyimpan uangnya di bank. Itu sebabnya kita lihat laporan bank-bank di Indonesia menghasilkan untung (profit) yang besar besar. Tetapi bertolak belakang dengan dampaknya terhadap masyarakat.

Kredit yang tinggi, akan menggambarkan seberapa besar perputaran uang dimasyarakat baik itu digunakan untuk pembangunan maupun untuk konsumsi, itu artinya pertumbuhan sedang berlangsung baik. Tetapi kalau simpanan, uang rakyat banyak mengendap di perbankan, itu ciri ciri yang tidak baik bagi pertumbuhan pembangunan dan konsumsi.

Oleh sebab itu, sebagai masyarakat kita berhak, mendesak Gubernur BI menurunkan BI Rate.

 

Salam kompasiana.

Gambar: Merdeka.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun