Dalam banyak hal, toleransi sangat bermanfaat, ibarat toleransi umat beragama. Tetapi dalam beberapa kasus tertentu kita tak boleh kompromi atau bertoleransi. Kita tak boleh berkompromi dengan korupsi, kita tidak boleh berkompromi dengan teroris, penjahat, pencuri dan berbagai hal yang melanggar peraturan. Karena akibatnya dapat menimbulkan kerugian materil maupun non materil.
foto : dokpri, suasana pedagang asongan di tol halim menuju bekasi.
Salah satu yang menurut saya tidak perlu berkompromi adalah terhadap para pedagang asongan di jalan tol. Saya adalah pengguna jalan tol sehari-hari, dan banyak kejadian sehari-hari di jalan tol yang dapat dijadikan cerita bagi orang lain, seperti kecelakaan yang hari-hari kita temukan baik kecelakaan ringan maupun kecelakaan berat yang memakan korban jiwa. Saya sendiri pernah mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol Ancol - Tj Priok, akibat serudukan truk kontainer 20 ton, mobil saya ringsek dan 2 minggu harus di rawat, untungnya saya tidak apa-apa.
Kembali ke soal pedagang asongan, jika jalan tol macet, ntah dari mana para pedagang ini segera berhamburan ke dalam tol untuk menjajakan dagangannya, mulai dari air mineral, kopi yang telah di seduh dibungkus di dalam plastik, kacang, tahu, buah yang telah di potong-potong dan berbagai jenis cemilan lainnya.
Bagi saya ini persoalan, pernah suatu kali saya membeli, tetapi di belakang saya tiba-tiba membunyikan klakson, sesudah itu saya tidak pernah sekalipun membelinya lagi, meskipun saya haus dan ingin mencicipi cemilan untuk melawan bosan dalam keadaan macet. Mengapa saya tidak mau membeli lagi? Ini beberapa pemikiran saya al :
Pertama, Jalan Tol bukanlah pasar, tempatnya jual beli makanan. Oleh sebab itu, sekalipun dengan dalih macet, saya sadar bahwa dengan saya membeli, mobil berhenti biarpun tidak terlalu lama, tetapi itu sudah cukup alasan untuk menambah macet, dan saya membayangkan berapa banyak yang melakukannya. Itulah salah satu penyebab mengapa jalan tol agak susah terurai kemacetannya. Artinya transaksi jual beli yang singkat di dalam tol telah memberikan sumbangsih bagi kemacetan jalan tol. Dan itu merugikan pihak lain yang tidak bertransaksi.
Kedua, Dengan adanya pedagang asongan di dalam tol, dapat membahayakan pengguna jalan tol maupun pedagang di jalan tol akibat kelalaian, bisa karena sedang memanggil tukang asongan, atau juga karena memperhatikan dagangan apa saja yang dijual, ini membahayakan nyawa manusia.
Ketiga, Kemasan atau bungkus air mineral atau minuman lain, dan atau bungkus cemilan yang tersisa, terlalu banyak di buang begitu saja oleh orang yang membeli sesudah menghabiskan isinya, dan ini mengotori jalan tol, disamping mengganggu pemandangan juga dapat merusak lingkungan. Oleh sebab itu, ini juga salah satu alasan saya mengapa pedagang asongan perlu ditertibkan dari jalan tol.
Keempat, secara moral, cara-cara berdagang seperti ini tidak mendidik, sekalipun alasannya, hanya sifatnya sementara dan hanya pada saat macet. Sama halnya kita tidak setuju, pedagang kaki lima berjualan di bahu jalan. Kita tidak mendidik masyarakat berjualan yang benar dan tidak mengganggu orang lain.
Inilah beberapa alasan, yang menurut saya sudah cukup alasan bagi jasa marga untuk menertibkan pedagang asongan dari jalan tol, cukuplah kita disuguhi kemacetan di dalam tol, jangan ditambahi dengan sampah yang berserakan, karena itu juga mengganggu konsentrasi kita saat mengemudi.
Kita harus mengembalikan fungsi jalan tol untuk jalan bebas hambatan, pihak jasa marga sudah cukuplah memberatkan pengguna jalan tol dengan tarif yang mahal, jangan dibebani lagi dengan model pasar kaget.
Jasa Marga, tidak boleh bertoleransi dalam hal ini, harus tegas dan saya tidak akan bosan menulis ini nanti jika masih saya temukan di jalan tol. Ini bukan hanya di satu tempat, tetapi hampir di semua tempat macet di dalam tol.
Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H