Ajaran filsafat Taoisme yang dianut oleh Sidik sangat menekankan penghormatan terhadap alam semesta. Taoisme adalah salah satu ajaran yang unik, karena Taoisme tidak mengenal sosok Tuhan seperti yang diyakini oleh agama-agama wahyu kebanyakan. Namun, mereka menganggap bahwa Tuhan adalah alam semesta itu sendiri, sehingga keberadaan alam semesta harus dijadikan tujuan bagi setiap penganut Taoisme untuk bersatu dengannya.
Pemahaman ini lah yang kemudian menjadi inspirasi utama bagi seorang Sidik untuk melahirkan berbagai karya seni lukis yang konteks permasalahannya selalu berangkat dan melibatkan alam semesta dengan makhluk hidup yang lebih kecil, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, atau menurut pemahamannya hal ini mirip seperti konsep dalam kepercayaan masyarakat Jawa (Kejawen), yakni Jagat Gedhe (alam semesta) dan Jagat Cilik (manusia).
Dalam mendapatkan pemahaman mengenai ajaran Taoisme beserta dengan ajaran filsafat lainnya, Sidik mengakui jika ilmu-ilmunya itu diperoleh dari ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengusaha kecap dan tabib (sinse). Sidik dibesarkan dari keluarga dengan dua budaya, yakni Tionghoa dari ayahnya yang bernama Bhe Hwie Kwan dan Jawa dari ibunya yang bernama Juniati, yang ternyata merupakan keturunan dari Sri Sultan Hameng Kubowono I.
Sidik dibesarkan dengan tata cara hidup ala budaya Jawa Malang. Namun, identitas Tionghoanya tetap dijunjung dengan sangat baik melalui pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR) milik orang Tionghoa dan pendidikan informalnya melalui membaca buku-buku sastra Tionghoa; belajar bahasa Mandarin, belajar menulis kaligrafi Tiongkok dengan menggunakan pit; serta belajar kesehatan jasmani dan rohani ala Tiongkok bernama Qi Gong.
Sidik cukup beruntung karena tetap mampu mendapatkan pendidikan formal di tengah keadaan perang dan penjajahan Belanda serta Jepang di Indonesia. Selama masa-masa sulit itu, Sidik juga bertemu dengan seorang Banthe (Biksu) asal Maluku bernama Banthe Akajinamito. Pertemuannya dengan Banthe Akajinamito semakin membuka wawasan Sidik terhadap berbagai karya filsafat Tiongkok, salah satunya adalah Taoisme.
Dari pertemuan tersebut, Sidik perlahan semakin mencintai ajaran Taoisme. Ajaran ini juga lah yang membuatnya tetap tegar dan kuat melihat berbagai gejolak sosial yang terjadi di keluarga dan kotanya kala itu, seperti ayahnya yang diinternir oleh Jepang, meningkatnya kasus kekerasan, meningkatnya angka kriminalitas, tidak tersedianya pangan yang layak bagi masyarakat luas, tidak adanya pakaian yang layak, dan lainnya.
"Semua saat itu serba susah. Masyarakat Malang hanya bisa makan dedak dan pakai baju yang dibuat dari karung goni. Angka pencurian juga terus naik karena masalah ekonomi dan banyaknya kasus kekerasan yang menyasar pada orang Tionghoa," tutur Sidik.
Perjalanan Menuju Kanvas Pertama
Setelah berakhirrnya era penjajahan, Sidik perrlahan mulai menata kembali kehidupannya yang hancur akibat kesulitan ekonomi dan sosial selama masa penjajahan. Di tahun 1963, Sidik bekerja sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Dasar (SD) berbahasa Mandarin selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Karirnya itu berlangsung pendek karena gejolak politik akibat meletusnya peristiwa G-30S/PKI pada tahun 1965.
Sidik bercerita bahwa saat itu ada begitu banyak masyarakat Tionghoa yang dipersekusi karena adanya anggapa bahwa paham komunisme berasal dari pengaruh PKT (Partai Komunis Tiongkok). Sehingga, saat itu ada banyak masyarakat Tionghoa yang dipersekusi dan dipersulit secara ekonomi. Di tahun 1968, Sidik hijrah ke Jakarta dan bekerja di Bank Pembangunan Ekonomi Indonesia milik salah satu sanak familinya.