Penghormatan yang luhur terhadap padi dan berbagai kisah mitologinya di Nusantara adalah salah satu faktor lestarinya menu nasi goreng di Indonesia.Â
Sebagian besar dari kita mungkin pernah merasakan nikmatnya sepiring nasi goreng. Nasi goreng boleh dibilang adalah makanan sejuta umat. Bagaimana tidak? Bahan baku yang murah, cara memasak yang cenderung relatif mudah, dan amat fleksibel untuk dinikmati kapan saja telah menjadikan nasi goreng sebagai salah satu makanan yang mudah untuk diingat serta diterima ketika kita bingung menentukan menu yang akan dipesan.
Di Indonesia, ada begitu banyak varian nasi goreng. Banyaknya varian ini tentu saja dipengaruhi oleh beragamnya bumbu penyusun, bahan baku pelengkap, serta selera masyarakat setempat. Kita mengenal nasi goreng di Aceh identik dengan bumbu rempah yang kuat dan campuran daging yang melimpah. Sedangkan di Pulau Jawa, kita mungkin mengenal cita rasa nasi goreng lebih condong kearah manis dan menggunakan sayuran sebagai pelengkapnya.
Beragamnya cita rasa serta varian nasi goreng di Indonesia, pada faktanya telah membuat sajian ini dinobatkan oleh CNNÂ sebagai satu dari 50 makanan paling lezat sedunia di tahun 2017 lalu. Lewat 35.000 voting di media sosial Facebook, nasi goreng berhasil menempati posisi kedua sebagai makanan paling lezat sedunia dan hanya kalah satu peringkat dari rendang, yang berhasil menduduki peringkat pertama dunia.
Populernya nasi goreng dan penerimaan yang begitu besar dari dunia internasional tentu membuat kita bangga untuk memiliki khazanah (kekayaan) kuliner ini. Meski kita bangga, namun sayangnya tidak banyak orang Indonesia yang tahu, bahwa dalam sejarahnya proses membuat sepiring nasi goreng itu berkenaan dengan penghormatan terhadap padi yang menjadi beras dan kemudian menjadi nasi hangat yang kita santap.
Dalam artikel ini, penulis akan membahas tentang nasi goreng dari sisi yang selama ini kurang diangkat, yakni penjelasan mengenai sejarah nasi goreng dari konteks kebudayaan masyarakat Indonesia dalam memahami dan menghayati tanaman padi dari sisi spiritual. Di sini, penulis akan mengkaitkan sejarah nasi goreng dari konteks yang universal dengan kebudayaan tersebut dari segi kepercayaan dan mitos mengenai tanaman padi.
Sejarah Awal Nasi GorengÂ
Menurut Miller (1970), nasi goreng adalah makanan asli dari Tiongkok, tepatnya di kota Yangzhou yang konon mulai popular namanya di era Dinasti Sui, yakni dari tahun 581-618 masehi. Adapun sumber yang menjelaskan jika nasi goreng konon sudah ada sejak 4.000 SM! Meski begitu, namun belum ada satu pun sumber pustaka yang ditemukan dan mampu menunjukkan fakta bahwa nasi goreng sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Awalnya, ide untuk membuat nasi goreng muncul karena adanya kebiasaan dari masyarakat Tionghoa yang sering memanaskan nasi agar tidak basi dan terbuang percuma. Untuk mencegah hal tersebut, banyak dari mereka yang akhirnya berkreasi untuk memanaskan nasi dengan cara digoreng dan ditambahkan dengan berbagai macam bumbu serta bahan-bahan lain yang membuatnya menjadi lebih kaya akan cita rasa.
Dari ide sederhana itu, nasi goreng pada akhirnya menjadi makanan yang terus lestari namanya dan popular hingga ribuan tahun, karena didukung oleh faktor kemudahan dari segi bahan baku, bumbu yang digunakan, cara memasak, hingga pada jenis nasi yang dipakai. Nasi goreng semakin popular utamanya setelah bangsa Tionghoa bermigrasi ke berbagai daerah di belahan dunia, termasuk juga bermigrasi ke Indonesia.
Di Indonesia, sejarah awal nasi goreng selaras dengan berkembangnya budidaya cocok tanam padi serta bergesernya asupan karbohidrat masyarakat Indonesia secara utuh ke konsumsi beras. Menurut Maryoto dalam Ambarwati (2021), sistem cocok tanam padi berbasis sawah mulai diterapkan sejak era Kerajaan Majapahit, yakni mulai dari abad 8-14 masehi, yang saat itu kisah mengenai sawah dan lumbung padi banyak dijelaskan dalam berbagai kakawin.
Saat bangsa Tionghoa masuk ke Kerajaan Majapahit untuk berdagang di sekitar abad ke-10 M, nasi goreng pun akhirnya diperkenalkan sebagai suatu hidangan baru atas populernya budaya cocok tanam padi di lingkungan Keraton Majapahit, serta bergesernya konsumsi karbohidrat masyarakat Majapahit dari sagu ke beras. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pertama yang memasak nasi goreng adalah masyarakat Majapahit.
Pendapat mengenai hal ini didukung oleh Fadly Rahman sebagai sejarawan kuliner. Menurut Rahman dalam Leba dan Ibrahim (2022), bangsa Tiongkok dari wilayah Selatan adalah bangsa yang membawa dan memperkenalkan kebudayaan mengolah nasi goreng ini kepada masyarakat Jawa di sekitaran abad ke-10 hingga abad ke-15, yang mana menurut Ardan (2021) merupakan masyarakat Jawa yang berada di bawah kuasa Kerajaan Majapahit.
Antara Padi, Nasi Goreng, dan MitosnyaÂ
Menurut Rahman dalam Leba dan Ibrahim (2022), nasi goreng yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dapat sangat diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa kala itu karena memiliki nilai penghormatan, utamanya untuk mencegah agar nasi sisa yang kiranya masih bisa dimakan dapat diolah kembali untuk menghasilkan suatu makanan baru. Sehingga, hal ini mencegah munculnya sampah dapur.
Namun uniknya, penerimaan masyarakat Jawa terhadap nasi goreng ternyata tidak hanya berhenti diurusan teknis untuk mengubah makanan sisa menjadi makanan baru yang kembali layak untuk disantap. Akan tetapi, penerimaan yang kuat ini nyatanya juga dipengaruhi oleh kuatnya kepercayaan dan mitos dari masyarakat Jawa (Nusantara) saat itu yang amat sangat menghormati tanaman padi sebagai sumber makanan pokok mereka.
Menurut Gardjito dkk (2019), bentuk-bentuk penghormatan ini muncul dari kuatnya pengaruh kepercayaan Hindu, utamanya dari masyarakat India Selatan di bumi Nusantara, yang kemudian banyak melahirkan karya sastra yang sering mentautkan tanaman padi dengan kisah-kisah Dewa dan Dewi. Sebagai informasi, masyarakat India Selatan juga lah yang memperkenalkan sistem menanam padi dengan menggunakan sawah dan irigasi.
Sehingga, bisa dipahami jika ada pengaruh yang begitu kuat dalam internalisasi berbagai nilai-nilai spiritualitas ajaran Hindu dari India Selatan dalam memahami padi sebagai makanan yang menjadi berkat bagi manusia. Di Indonesia, berbagai mitos mengenai padi mungkin sering kita dengar waktu kita masih kecil, utamanya mitos mengenai Dewi Sri, yang dikenal luas sebagai Dewi pelindung tanaman padi dan berkat bagi petani.
Namun, berbagai mitos yang mentautkan tanaman padi di Indonesia nyatanya tidak hanya berhenti di Dewi Sri saja. Sebagai contoh, di Jawa Tengah terdapat mitos mengenai Tisnawati (putri Dewa Batara Guru) dan Jakasudana (petani) yang saling jatuh cinta dan kemudian keduanya dikutuk menjadi tanaman padi karena telah melakukan hubungan terlarang antara alam manusia dengan alam Dewa.
Adapun mitos padi dari masyarakat Sunda lama (Kanekes), yang mengisahkan kelahiran Nyi Pohaci Sanghyang Asri (Dewi padi) dari air mata Antaboga (ular raksasa). Mitos ini menceritakan kesedihan Antaboga yang akan dibunuh oleh Batara Guru karena tidak memiliki tangan dan kaki untuk membangun istana. Kesedihan ini akhirnya melahirkan sebuah telur yang melahirkan seorang gadis bernama Nyi Pohaci.
Batara Guru sangat tertarik dengan paras cantik dengan Nyi Pohaci, namun keinginan ini ditentang oleh para dewa. Sehingga, akhirnya Nyi Pohaci dibunuh dan jasadnya dijatuhkan ke bumi. Dari kematian Nyi Pohaci, kemudian lahirlah cerita mengenai padi dua warna yang tumbuh dari kedua matanya dan menjadi cikal bakal filosofi warna merah dan putih. Mata kanannya mengeluarkan beras putih sedangkan mata kirinya mengeluarkan beras merah.
Tidak hanya di Jawa, mitos padi nyatanya juga berkembang di tanah Sumatra, khususnya bagi masyarakat Karo. Awalnya, masyarakat Karo mengandalkan makanan dari cara berburu dan meramu makanan di hutan. Hal seperti ini sering menimbulkan pertikaian. Akhirnya, Beru Dayang Jile-Jile (Dewi padi) diperintahkan oleh Dibata (Dewa utama masyarakat Karo) untuk mengajari manusia menanam padi agar bisa dijadikan makanan.
Hingga kini, beberapa varietas padi yang ada di tanah Karo disebut dengan Dayang sebagai bentuk ungkapan terimakasih atas jasa Beru Dayang. Jenis-jenis padi tersebut antara lain, Beru Dayang Rungun-rungun (padi yang telah ditanam), Beru Dayang Buninken (padi yang telah ditanam dan ditutup), Beru Daya Malembing (padi yang daunnya mirip lembing), Beru Dayang Meduk-meduk (padi berdaun rimbun ke bawah), dan berbagai jenis padi lainnya.
Berkembangnya berbagai kisah mitos yang mentautkan beras sebagai berkat dari dewa dan dewi di Indonesia, menjadi bukti kuat bahwa pemaknaan dan penghormatan masyarakat Nusantara kala itu terhadap beras tidak hanya berhenti pada urusan perut serta ekonomi, seperti mengubah nasi sisa kemarin untuk menjadi nasi goreng. Namun, dibalik itu ada internalisasi berbagai nilai religius dan batin yang disematkan ke dalam sebatang padi.
Penghormatan ini semakin terwujud dari adanya budaya untuk menyimpan padi di dalam lumbung, yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai contoh, masyarakat suku Badui memiliki budaya leuit, yakni budaya menyimpan padi yang sudah panen di dalam lumbung yang bernama leuit (Gradjito dkk, 2019). Leuit terbagi ke dalam dua bentuk, yakni leuit individu yang diperuntukan untuk keluarga dan leuit komunal untuk desa.
Adapun budaya menyimpan padi di dalam lumbung juga dilakukan oleh masyarakat Tidung dari Kalimantan Utara. Sehabis panen, mereka selalu menyimpan semua padinya di dalam rumah baloy (adat). Rumah baloy dibuat dari kayu ulin dan selalu dibangun menghadap ke arah Utara. Bangunan ini, tidak hanya sebagai tempat untuk menyimpan hasil bumi setelah panen, namun juga menjadi pusat komunal adat bagi masyarakat suku Tidung (Kurniawan, 2015).
Dari pemaparan di atas, kita bisa memahami dan menyimpulkan bahwa popularnya nasi goreng di atas meja makan orang Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh pertalian sejarah antar bangsa di masa lampau yang memberikan ilmu untuk pengolahan makanan. Namun, faktanya popular nasi goreng di Indonesia juga dipengaruhi oleh lestarinya pemahaman budaya Nusantara terhadap laku spiritual alam dan semesta.
Berkembangnya berbagai mitos mengenai padi di sebagian bumi Nusantara, rasanya cukup menggambarkan bahwa nasi goreng tidak hanya sekadar panganan untuk mengatasi bertambahnya sampah dapur. Namun, ada local champion berupa semangat spiritual tertentu yang disematkan ke dalam sepiring nasi goreng. Sehingga, penting bagi kita untuk mewariskan pemahaman ini, bahwa makanan amat berharga sekalipun dia belum bisa disantap.
Kalau Anda, suka nasi goreng yang seperti apa? Tulis pendapat Anda di kolom komentar ya!
Daftar Pustaka:
Gardjito, M et al. 2019. Gastronomi Indonesia (Jilid I). Yogyakarta. Global Pustaka Utama.
Miller, B. 1970. The thousand recipes Chinese cookbook. New York. Grosset & Dunlap Publishers.
Ambarwati, A. 2019. Nusantara Dalam Piringku, Merayakan Keberagaman Pangan Pokok. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Leba dan Ibrahim, (2022, Oktober 16). Nasi Goreng, Solusi Perut Urban. Harian Kompas, h.1 bersambung ke h.15.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H