Literasi digital amat penting bagi praktik jurnalisme warga. Lalu, bagaimana dengan kondisi literasi digital para kompasianer?
Media online saat ini menjadi media komunikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Menurut Reuters Institute (2021), media online khususnya media sosial menjadi yang paling tinggi penggunaannya, yakni mencapai 89%. Meski menjadi media yang paling banyak diakses, namun media sosial justru menjadi media komunikasi yang paling banyak memiliki hoaks. Berkembangnya hoaks di media sosial tidak terlepas dari kemampuan masyarakat saat ini yang dapat menjadi konsumen dan produsen pesan sekaligus (Khaerudin, 2021).
Kemampuan ini pada akhirnya melahirkan era informasi, di mana informasi melimpah ruah di ruang digital dan akhirnya menyebabkan banjir informasi di berbagai media online (Tajuk Rencana Kompas, 2021). Namun, alih-alih membawa manfaat positif, banjir informasi di satu sisi juga membawa dampak negatif, yakni munculnya banjir informasi hoaks, khususnya di media online seperti media sosial dan blog, yang pada akhirnya memicu tercemarnya informasi serta mempengaruhi pengambilan keputusan yang salah (Chryshna, 2021 & Romli, 2012).
Meluasnya banjir informasi hoaks di media online, khususnya media sosial tidak terlepas dari praktik jurnalis warga yang tidak memiliki peran gatekeeper untuk memastikan kelayakan suatu informasi (Arnus, 2018). Selain itu, praktik jurnalisme warga banyak yang tidak memperdulikan kewajiban etis (deontologi) jurnalisme dalam proses produksi berita atau informasi, sehingga kelayakan, keamanan, dan keabsahan suatu informasi yang bersumber dari jurnalisme warga menjadi diragukan (Haryatmoko dalam Kurniawan, 2021).
Salah satu dampaknya adalah meluasnya peredaran hoaks COVID-19. Menurut Yuniarto (2021) terdapat sekitar 1.719 isu hoaks kesehatan, di mana di tahun 2020-2021 hoaks mengenai kesehatan didominasi oleh COVID-19. Untuk dapat mengatasi hal tersebut, maka menurut Nurhajati et al (2019) serta Ross & Cormier (2010), seorang jurnalis warga perlu mempelajari literasi digital agar mampu melahirkan informasi yang berkualitas; mampu melakukan kegiatannya dengan bijak dan beretika; serta sesuai dengan nilai moral yang berlaku.
Untuk dapat mewujudkannya, menurut Rahardi (2012) serta Ross & Cormier (2010), seorang jurnalis warga perlu untuk memiliki kecakapan dalam membaca. Karena praktik jurnalisme warga bersifat fleksibel dan bahkan cenderung tidak terkontrol, maka proses membaca suatu informasi seperti memahami, menganalisis, memverifikasi, dan mengevaluasi menjadi semakin penting bagi praktik jurnalisme warga yang bertanggung jawab. Meski begitu, namun indeks literasi digital di Indonesia dapat dikatakan masih belum cukup baik.
Menurut Kemenkominfo dan Katadata Insight Center (2020), skor indeks literasi digital Indonesia adalah 3,47 atau masuk dalam kategori sedang. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya sub-indeks informasi dan literasi data atau pada permasalahan membaca. Permasalahan ini akhirnya berdampak pada meluasnya hoaks yang ikut mempengaruhi rendahnya adab digital (Arika, 2021 dan Microsoft, 2021). Hal ini membuktikan bahwa literasi digital di Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan media sosial tidak menjadi tempat yang aman untuk memperoleh informasi.
Menurut Romli (2012), media online situs berita menjadi salah satu tempat yang aman untuk memperoleh berbagai sumber informasi yang kredibel, sebab dikelola oleh lembaga pers yang terverifikasi dan mampu mempertanggungjawabkan konten yang diproduksi. Namun, media online situs berita di Indonesia juga memiliki permasalahannya, di mana ada begitu banyak yang belum terverifikasi. Dari 43.300 situs berita, hanya ada 85 situs yang terverifikasi faktual dan 169 situs yang terverifikasi administratif (Dewan Pers, 2020).
Maka, menjadi satu tantangan bagi jurnalis warga untuk menyaring informasi, memilah, dan memilih media yang kredibel agar mampu memperoleh berita dan informasi yang faktual. Meskipun media online, seperti situs berita dan media sosial memiliki masalahnya masing-masing, namun ada satu media online kategori media sosial mainstream citizen journalism bernama Kompasiana yang unik dan cukup berbeda dari media online kategori media sosial lainnya (Eddyono, 2019: 77 dan Kusumaningati, 2012).
Menurut survei dari Dable (2021), Kompasiana berhasil menjadi satu-satunya media sosial berbasis blog yang masuk ke dalam jajaran 30 besar situs web kategori media berita di Indonesia dan berhasil menduduki peringkat ke-24 di tahun 2020. Keunikan yang dimiliki oleh Kompasiana sebagai salah satu media online ini pada akhirnya mendorong penulis untuk mencari tahu lebih dalam terkait dengan proses literasi digital kompasianer sebagai bagian dari jurnalisme warga dalam membaca berita COVID-19 di situs berita online.
Dalam menulis artikel ini, penulis menggunakan beberapa metode ilmiah untuk dapat memperoleh data-data yang diperlukan. Penulis menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan terkait dengan proses literasi digital kompasianer. Terdapat tiga orang narasumber dalam artikel yang dilakukan oleh penulis, di mana ketiga memenuhi tiga buah kriteria, yakni laki-laki atau perempuan berusia 21-60 tahun, merupakan seorang kompasianer, dan pernah menulis artikel tentang COVID-19.
Untuk mencari data yang diperlukan, penulis menggunakan metode wawancara dengan pendekatan wawancara mendalam. Dalam proses wawancara, penulis memberikan empat buah media dan berita untuk kemudian digunakan dalam melihat proses literasi digital masing-masing narasumber dari beberapa kompetensi. Setiap berita dan media yang dipilih memiliki karakternya masing-masing, di mana terdapat berita yang telah terbukti hoaks, terbukti melakukan plagiarisme dari berita lain, tidak memiliki keutuhan di dalam isinya, dan berita yang sejatinya baik.
Artikel ini menggunakan teori literasi digital sebagai teori utama. Literasi digital adalah bentuk kesadaran, sikap, dan kemampuan dari seorang individu untuk menggunakan alat dan fasilitas digital secara tepat, sehingga mampu mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis, dan mensintesis berbagai sumber daya digital (Martin dalam Carrington dan Robinson, 2009). Teori literasi digital dalam artikel ini mengacu pada teori literasi digital yang dirumuskan oleh Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital).
Menurut Nurhajati et al (2019), terdapat 10 komptensi literasi digital, di mana artikel ini berfokus pada kompetensi memahami dan menganalis; memverifikasi; dan mengevaluasi sebagai proses membaca. Kompetensi memahami dan menganalisis diintegrasikan karena keduanya memiliki elemen yang sama, yakni berpikir kritis. Sedangkan kompetensi memverifikasi memiliki elemen lokus personal. Terdapat juga teori pendukung seperti teori kredibilitas media yang diintegrasikan dengan teori literasi digital, teori kredibilitas berita, dan teori jurnalisme warga.
Secara umum, teori kredibilitas media membahas bagaimana mengetahui kredibilitas sebuah media yang diakses. Menurut Miller dalam Rich (2010) cara untuk menilai kredibilitas media adalah dengan melihat unsur who (susunan redaksi), what (afiliasi), when (pola tayangan), where (lokasi), dan why (bias). Lalu, teori jurnalisme warga menurut Lasica dalam Eddyono (2020) adalah praktik jurnalisme di mana siapapun dapat menyampaikan informasi, seperti, menulis, wawancara, menayangkan foto atau video untuk kebutuhan jurnalisme mainstream atau pribadi.
Sedangkan, teori kredibilitas berita dipakai untuk menilai keabsahan sebuah berita yang dilihat berdasarkan rumusan kredibilitas berita Brooks et al (2014), yakni dari segi akurasi yang berkenaan dengan kelengkapan unsur berita (5W+1H), kelengkapan fakta, dan kesamaan antara judul dengan isi berita; segi keberimbangan yang berkenaan dengan keberimbangan informasi dari narasumber (cover both side) dan relevansi narasumber; serta segi bias yang berkenaan dengan penggunaan bahasa dan penilai subjektif dari penulis.
Pada bagian memahami dan menganalisis kredibilitas media serta kredibilitas berita, penulis melihat jika proses masing-masing narasumber telah menyiratkan adanya kecakapan tersebut. Sebagai gambaran, pada bagian memahami dan menganalisis kredibilitas media penulis melihat jika ketiga narasumber berhasil menemukan berbagai identitas pada setiap media dan dapat memahami susunan identitasnya berdasarkan teori kredibilitas media Miller dalam Rich (2010), seperti nama pemimpin redaksi, penulis berita, pemilik media, alamat media, dan lainnya.
Selain itu, ketiga narasumber dalam prosesnya dapat menemukan, menganalisis, dan mengkritisi setiap media yang identitasnya cenderung tidak lengkap, yang akhirnya cenderung sulit untuk dipahami dan diragukan kredibilitas medianya. Secara khusus, kekurangan identitas pada dua dari empat media yang disajikan dalam riset ini paling terlihat jelas pada bagian analisis what (apa) atau afiliasi dan why (kenapa) atau bias serta agenda tertentu. Penulis menemukan jika ketiga narasumber sepakat menyatakan salah satu media memiliki bias dan agenda tertentu.
Sedangkan, pada salah satu media lainnya, dua dari tiga narasumber cenderung menilai jika media tersebut memiliki agenda kuat pada sisi pemerintahan. Sedangkan, bias pada kedua media tersebut cenderung sulit ditemukan oleh ketiga narasumber karena kurangnya identitas dan data-data yang bisa dieksplorasi lebih lanjut. Pada bagian analisis kredibilitas berita, penulis menemukan jika masing-masing narasumber mampu memahami, menganalisis, dan mengkritisi isi dari masing-masing berita yang penulis sajikan.
Selalin itu, penulis juga menemukan jika ketiga narasumber cenderung cukup berhati-hati dalam memahami konteks permasalahan yang ada, serta kemudian memberikan penilaiannya terhadap berbagai berita yang dianalisis dari beberapa segi, seperti narasumber; data dan fakta yang disajikan; keberimbangan; bias; dan lainnya. Penilaian ini diperkuat oleh temuan ketiga narasumber, yang mampu mengkritisi berbagai temuan mengenai kekurangan serta kelemahan dari beberapa berita yang ada, khususnya pada berita pertama, ketiga, dan keempat.
Pada proses memverifikasi berita, penulis menemukan jika masing-masing narasumber sejatinya sudah mampu menemukan berbagai sumber-sumber (berita) lain dengan tema yang sama. Hal itu terlihat dari penggunaan kata kunci yang mereka gunakan, yang akhirnya juga mampu mengarahkan mereka untuk menemukan sejumlah sumber lain yang dapat mendukung atau membandingkan data-data dari keempat berita yang diverifikasi. Ketiga narasumber cenderung memilih berita dari media online situs berita nasional.
Adapun penulis menemukan ketiga narasumber cenderung menjelaskan hal yang sama mengenai pilihan berita mereka, bahwa berbagai berita yang mereka pilih diklaim mampu mengkontra atau mendukung berbagai topik permasalahan yang diulas pada keempat berita sebelumnya. Temuan ini memang kemudian bisa dibuktikan lewat membaca secara langsung berbagai sumber-sumber tersebut, yang kebanyakan memang mampu mendukung atau membandingkan berbagai berita yang dianalisis.
Namun, dalam proses pemilihannya, penulis melihat ada beberapa berita yang justru tidak dapat menjadi sumber verifikasi. Kecenderungan ini membuat beberapa berita yang dipilih menjadi tidak bisa dibandingkan dan tidak memunculkan kebaharuan tertentu. Meski begitu, namun penulis melihat jika rata-rata berita yang mereka pilih dapat menjadi pembanding, karena mampu menimbulkan kebaharuan serta mampu mendukung atau mengkontra berbagai data dan permasalahan dari keempat berita sebelumnya.
Selain itu, dalam prosesnya ketiga narasumber juga cenderung memilih lebih dari satu berita untuk bisa mendapatkan data dan fakta yang mampu dibandingkan serta memunculkan kebaharuan dari berita-berita sebelumnya, meski ada beberapa pilihan berita yang tidak cocok. Sehingga, penulis melihat jika dalam prosesnya ketiga narasumber sudah memiliki kecakapan untuk menemukan berita dengan tema yang sama dari sumber berbeda; mampu menjelaskan berita pilihannya dan dibuktikan; serta adanya data yang memberikan kebaharuan.
Meski telah mampu dalam prosesnya berdasarkan tolok ukur di unit analisis, namun penulis menemukan jika ketiga narasumber belum mampu memberikan penilaian yang tegas pada berita ketiga, yang sejatinya terbukti melakukan plagiasi dari media lain, di mana ketiga narasumber cenderung menolak media tersebut karena dinilai bermasalah kredibilitasnya. Namun, pada bagian verifikasi berita, ketiga narasumber justru menilai berita tersebut aman untuk diakses, yang pada kenyataannya merupakan berita plagiasi (Dupli Checker, 2022).
Penilaian ini pada akhirnya berpengaruh pada proses mengevaluasi. Pada proses mengevaluasi kredibilitas media, ketiga narasumber memiliki penilaian yang sama bahwa ada dua buah media nasioanl yang paling kredibel karena berhasil ditemukannya berbagai kelengkapan identitas, mulai dari susunan redaksi hingga pada bagian bias media. Sedangkan, dua buah media lain yang tidak diketahui identitasnya dengan jelas dinilai sebagai media yang tidak kredibel karena telah ditemukan beberapa masalah yang di kedua media tersebut.
Sementara, pada proses mengevaluasi kredibilits berita, penulis menemukan jika ketiga narasumber sepakat bahwa ada dua buah berita yang kredibel dan satu berita yang dianggap tidak kredibel. Namun, pada salah satu berita ketiga narasumber menyatakan berita tersebut aman untuk diakses yang pada kenyataannya terbukti melakukan plagiasi berdasarkan pemeriksaan dari Dupli Checker (2022), menurut proses evaluasi ketiga narasumber dinilai tidak memiliki masalah dan cenderung aman untuk diakses.
Meski begitu, namun penulis menemukan jika dua dari tiga narasumber menilai berita ketiga tetap perlu diimbangi dengan sumber-sumber lain yang berasal dari media dan berita yang sudah terverifikasi, sebab berita ketiga berasal dari media yang kurang kredibel. Sedangkan, satu dari tiga narasumber dalam riset ini justru menilai jika berita yang sejatinya melakukan plagiasi masih dinilai dan dianggap jauh lebih baik kontennya dibandingkan dengan berita yang sejatinya kredibel namun membingungkan dari segi isi beritanya.
Berdasarkan temuan data dan proses analisis yang telah dilakukan, penulis menemukan dan menarik kesimpulan jika dalam prosesnya ketiga narasumber perlu untuk lebih mempertajam kecakapan literasi digitalnya dalam hal membaca berita COVID-19 di media online situs berita, khususnya pada bagian memverifikasi dan mengevaluasi isi konten dari sebuah berita. Temuan ini di satu sisi juga menyimpulkan bahwa literasi digital khususnya dalam hal membaca amat diperlukan untuk mendukung terciptanya praktik jurnalisme warga yang sehat.
Artikel ini juga menemukan keunikan, bahwa kecakapan dalam membaca layaknya memahami dan menganalisis saja tidak cukup, namun diperlukan juga kecakapan dalam memverifikasi dan melihat kejanggalan suatu berita agar mampu memitigasi dan menganulir adanya kemungkinan penyebaran disinformasi ataupun misinformasi pada orang lain. Sehingga, dengan demikian keahlian memverifikasi amat diperlukan untuk dapat semakin menyeleksi berita dan informasi yang benar serta yang tidak, sehingga proses evaluasinya akan berjalan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arika, Y. (2021, Juni 28). Membangun Daya Kritis Masyarakat di Era Banjir Informasi. Harian Kompas, h. 10.
Arnus, S. (2018). Literasi Media: Cerdas dan Bijak Menikmati Konten Media Baru. Jurnal Al-Munzir, 10(1): 131-150. Institut Agama Islam Negeri Kendari.
Brooks, B. et al. (2014). News Reporting and Writing Eleventh Edition. Boston: Bedford/St. Martin's.
Carrington, V & Robinson, M. (2009). Digital Literacies Social, learning and classroom practices. London: SAGE Publication.
Dewan Pers. (2020). Etika: Menjaga dan Melindungi Kemerdekaan Pers. Jakarta: Dewan Pers
Eddyono, A. (2019). Siasat Kompasiana dan Indonesiana dalam Memanfaatkan Raksasa Media Sosial Demi Traffic. Jurnal Komunikasi, 14(1): 75-92. Universitas Bakrie Jakarta
Eddyono, A. (2020). Jurnalisme Warga, Hegemoni, & Rusaknya Keragaman Informasi. Jakarta: Universitas Bakrie Press.
Kementerian Komunikasi dan Informatika & Katadata Insight Center. (2020). Status Literasi Digital Indonesia Survei di 34 Provinsi. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Khaerudin. (2021, Juni 28). Internet, Jurnalisme, dan Hoaks. Harian Kompas, h. 7.
Kurniawan, A. (2021, Juni 28). Tsunami Informasi dan Matinya Deontologi Jurnalisme. Harian Kompas, h. 2.
Kusumaningati, I. (2012). Jadi Jurnalis Itu Gampang!!!. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Nurhajati, L. et al. (2019). Panduan Menjadi Jurnalis Warga yang Bijak Beretika. Jakarta: Lembaga Artikel, Publikasi dan Pengabdian kepada Masyarakat London School of Public Relations.
Rahardi, K. (2012). Menulis Artikel Opini & Kolom di Media Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga
Reuters Institute. (2021). Reuters Institute Digital News Report 2021. Oxford: University of Oxford.
Rich, C. (2010). Writing and Reporting News A Coaching Method Sixth Edition. Boston: Wadsworth Carnage Learning.
Romli, A. (2012). Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online. Bandung: Nuansa Cendekia.
Ron, R & Cormier, S. (2010). Handbook for Citizen Journalists. Denver: National Association of Citizen Journalist.
Yuniarto, T. (2021, Juni 28). Ironi Banjir Informasi di Mata Publik. Harian Kompas, h. 15.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H