Penulis kemudian bertanya mengenai makna "boomerang" yang menjadi nama dari toko buku tersebut. Wina bercerita bahwa nama boomerang dipilih karena boomerang adalah alat berburu tradisional masyarakat Aborigin yang ketika dilempar akan kembali lagi kepemiliknya.Â
Hal inilah yang kemudian menginspirasinya, bahwa ketika buku-buku itu berhasil dijual maka harapannya akan orang-orang yang pernah membeli akan kembali lagi dan lagi.
Selain itu, nama boomerang juga dipilih karena sesuai dengan budaya literasi masyarakat Australia atau luar negeri secara universal. Wina bercerita, jika seseorang telah membeli sebuah buku dan juga telah selesai membacanya, maka buku yang sebelumnya sudah dibaca itu dapat dijual kembali ke toko buku yang menjual buku tersebut, di mana orang yang menjual kembali buku tersebut akan mendapatkan komisi sebesar 50% dari harga buku awal yang dibeli.
Wina mengilustrasikan, jika membeli buku seharga Rp 100.000,00 dan telah selesai dibaca serta hendak dijual kembali, maka penjual sebagai second hand akan mendapatkan uang komisi sebesar Rp 50.000,00.Â
Kebiasaan ini menurutnya dipicu oleh adanya budaya untuk saling berbagi ilmu dan kebahagiaan, di mana buku sebagai sumber ilmu dan kebahagiaan itu tidak hanya berhenti di satu tangan saja, namun menyebar ke tangan lainnya yang membutuhkan.
Pada awal didirikan, Wina mengakui jika toko Boomerang Bookstore memiliki dua buah cabang. Cabang pertama ada di daerah Malioboro, tepatnya di daerah Sosrowijayan yang masih beroperasi sampai sekarang.Â
Sementara, cabang kedua terdapat di daerah Prawirotaman dan sudah tutup secara permanen. Wina menjelaskan, tutupnya toko kedua di daerah Prawirotaman disebabkan karena sepinya peminat dari para konsumen mancanegara.
Padahal, menurut pengalaman observasinya, secara ruang kewilayahan daerah Prawirotaman adalah daerah khusus untuk turis mancanegara.Â
Namun, setelah lebih dari 27 tahun berjualan Wina menemukan dan perlahan menyadari bahwa para pelanggan setia toko bukunya didominasi oleh turis-turis mancanegara yang sering traveling dengan metode backpacker. Sementara, turis mancanegara yang ada di daerah Prawirotaman didominasi oleh turis kelas atas.
Adanya perbedaan selera pembeli di antara turis mancanegara ini menurut Wina dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi dari masing-masing turis.Â
Wina memberi gambaran jika turis mancanegara yang menginap di daerah Prawirotaman adalah turis-turis yang biasanya datang dalam jumlah besar dan menggunakan jasa travel agency. Sehingga, menurut Wina turis-turis seperti ini kurang memiliki waktu yang cukup untuk mengeksplorasi daerah-daerah lain.