Namun, uniknya adalah alih-alih mengikuti pakem yang tertera secara tekstual, para silipin Jawa Kuno ini justru keluar dari berbagai kepakeman akan teks tersebut dan berusaha menemukan formula serta gaya arsitektural baru dalam hal membangun rumah ibadah atau kuil. Vastusastra memiliki beberapa teks dan kajian khusus untuk para silpin yang diberi nama Silpasastra, di mana salah satu Silpasastra yang banyak diadopsi oleh para silpin Jawa Kuno adalah Manasara.Â
Kitab Manasara menjadi yang paling banyak diadopsi dan dipahami oleh para silpin Jawa Kuno di antara berbagai Vastusastra yang ada. Salah satu ilmu bangunan yang sangat diadopsi oleh para silpin Jawa Kuno pada saat itu adalah konsep mengenai diagram pondasi sebuah bangunan yang dinamakan dengan Vastupurusamandala, suatu konsep pondasi yang digunakan untuk menyucikan tanah sebelum mendirikan bangunan di atasnya.
Konsep Vastupurumandala secara sederhana adalah memanfaatkan pondasi berbentuk bujur sangkar sempurna untuk kemudian digunakan sebagai penyangga dasar bagi sebuah bangunan yang akan dibangun. Vastupurumandala memiliki beberapa jenis, seperti ada yang menggunakan konsep satu lubang sampai ada yang menggunakan konsep 1.024 lubang di dalam satu Vastupurumandala dan disesuaikan dengan jenis bangunannya.
Selain menerapkan konsep diagram pondasi tersebut, para silpin Jawa Kuno pun juga ahli dalam hal penyambungan bangunan berbahan dasar batuan andesit dan ahli dalam hal pahat memahat batu. Kedua keahlian inilah yang kemudian bisa kita lihat warisannya dari candi Prambanan, candi Borobudur, dan lainnya serta sentra-sentra wisata baik di Yogyakarta maupun di Jawa Tengah yang menjual pahatan patung, alat masak cobek, dan lainnya.
Sejarah mengenai hubungan antara keahlian masyarakat Jawa dalam bidang konstruksi dan juga keahlian mereka sebagai tenaga kerja konstruksi (kuli bangunan) ini kemudian terus diwarisi ke setiap generasi selanjutnya karena adanya sistem hidup berkomunitas (paguyuban) secara primordial yang kebanyakan berasal dari lingkungan tempat tinggal yang sama, atau mudahnya mereka di satukan karena adanya hubungan sosio-kultural kedaerahan.
Perlahan, konsep hidup paguyuban yang dijalankan oleh para kuli bangunan ini kemudian menjelma menjadi sesuatu yang mengakar bagi cara berpikir kita, dalam memberikan nilai terhadap suatu komunitas masyarakat tertentu, yang mana komunitas tersebut tentunya memiliki keahlian tertentu juga yang dapat dipertukarkan jasa-jasanya untuk menyokong kehidupan orang lain yang membutuhkan jasa-jasa tersebut secara kontinu.
Akar sejarah ini kemudian bisa kita telusuri lagi secara jauh lebih dalam dari sebuah buku yang ditulis oleh Heuken SJ (2003), yang berjudul Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta. Buku tersebut menjelaskan bahwa awal mulanya kuli bangunan asal Jawa yang banyak kita temui di kota-kota besar adalah mereka yang dibawa dari tempat asalnya untuk mengerjakan berbagai proyek strategis milik pemerintah Hindia Belanda, seperti membuat parit dan lainnya.
Perlahan, kebutuhan pemerintah Hindia Belanda terhadap kuli bangunan asal Jawa mulai meningkat pesat setelah adanya berbagai proyek strategis lainnya, seperti mendirikan Rumah Sakit, gedung pemerintahan, jalan raya, membuat kanal, membersihkan sungai, dan lainnya. Heuken (2003), menambahkan jika komunitas kuli bangunan asal Jawa ini sudah mulai menetap di luar kota benteng Batavia sejak tahun 1730-an.
Selain itu, kuli bangunan yang didatangkan dari Jawa adalah mereka yang mendapatkan upaha dari hasil pekerjaan mereka. Menurut Heuken (2003), orang-orang Jawa, khususnya dari daerah Cirebon yang didatangkan ke Batavia sebagai kuli bangunan atas permintaan pemerintah Hindia Belanda adalah mereka yang didatangkan secara langsung dari raja Cirebon itu sendiri, di mana para pekerja ini mendapatkan upah dari hasil pekerjaan mereka.
Masih dari sumber yang sama, hal ini kemudian selaras dengan bagaimana pemerintah Hindia Belanda memperlakukan tenaga kerja konstruksi yang berasal dari wilayah Jawa dengan yang berasal dari luar wilayah Jawa. Masyarakat Jawa dan Sunda tidak dipandang sebagai budak karena tiadanya sistem perbudakan di kalangan elite Jawa dan Sunda. Sedangkan, kalangan elite dari Bali dan Bugis lah yang kemudian memperlakukan pekerja ini sebagai budak.