Karena dinilai memiliki modus pencurian dan eksploitasi data-data pribadi, maka beberapa negara Asia sepertinya halnya India mulai melarang layanan tersebut di tahun 2016. Peristiwa tersebut pada akhirnya menandai bahwa kolonialisme elektronik akan selalu berusaha menerapkan dan menjalankan berbagai upaya penguasaan terhadap dunia yang mereka anggap lebih lemah dan mampu untuk dikontrol oleh para penguasa jaringan di dunia Barat.
Kolonialisme elektronik dalam perkembangannya tidak hanya berhenti di seputaran penguasaan dan penanaman kembali hegemoni Barat di dunia Timur. Namun juga berkembang ke arah pembentukan polarisasi informasi yang pada akhirnya mampu menciptakan konflik horizontal masyarakat di berbagai belahan dunia. Opini ini berangkat dari adanya sistem alogaritma media sosial dan internet yang memungkinkan hal ini terjadi.
Filter bubble dan echo chamber adalah dua hal yang memungkinkan polarisasi dan konflik horizontal itu dapat terjadi, sebagai akibat dari adanya sistem alogaritma yang kolonialis. Filter bubble dipahami sebagai sistem sortir terhadap informasi berdasarkan alogaritma mengenai kecocokan, relevansi, dan preferensi yang ingin dihadirkan pada pengguna media sosial, supaya pengguna merasa lebih tertarik dan terus bermain media sosial (Lotan dalam Rifasya, 2018).
Sedangkan, echo chamber (ruang gaung) dipahami sebagai suatu konsep yang memiliki fungsi untuk memperkuat apa yang sudah diyakini oleh banyak orang. Merujuk Haryatmoko SJ dalam Kurniawan (2021) echo chamber (ruang gaung) bekerja untuk menciptakan suatu pemikiran yang terpola terhadap suatu isu, di mana semakin sering kita bertemu dengan isu-isu tersebut maka kita akan terus ada di dalam gelembung dan semakin terpolarisasi.
Untuk memudahkan pemahaman dan kaitan antara filter bubble dengan echo chamber pada pembaca, penulis akan berusaha menjelaskan contoh sederhana dari keterkaitan antara kedua hal tersebut. Sebagai contoh, pembaca adalah penggemar berat konten otomotif. Dalam kesehariannya, pembaca memiliki begitu banyak pilihan untuk mengakses konten otomotif yang diinginkan dengan relevansi serta prefrensi pembaca.
Anggap saja pembaca mengakses lebih dari satu media sosial untuk mengakses konten otomotif dan sering mengaksesnya lebih dari sekali atau menjadi seorang heavy reader. Perilaku seperti ini akan memunculkan suatu lalu lintas atau traffic di media sosial, di mana alogaritma pengguna akan terus diarahkan pada berbagai konten-konten otomotif ataupun konten lain yang masih memiliki kaitan dengan konten otomotif itu sendiri.
Traffic atau alogaritma yang dijelaskan tadi mewakili filter bubble, di mana setiap pengguna akan diarahkan pada berbagai hal yang menjadi preferensi dan relevansi mereka terhadap suatu hal. Sedangkan, echo chamber (ruang gaung) adalah produk turunan dari filter bubble itu sendiri, di mana pengguna pada akhirnya akan dibentuk mentalitas dan pandangannya sesuai dengan apa yang sering mereka akses serta yang sering mereka konsumsi di media sosialnya.
Kira-kira itu adalah gambaran sederhana dan masih merupakan contoh yang aman dari filtr bubble serta echo chamber. Lalu, apa kira-kira dampak paling berbahaya dari filter bubble dan echo chamber? Merujuk pada Haryatmoko SJ dalam Kurniawan (2021), dampak paling berbahaya dan destruktif dari filter bubble serta echo chamber adalah muncul dan berkembang polarisasi informasi di tengah masyarakat.
Echo chamber dengan bantuan filter bubble akan semakin menggaungkan informasi secara repetitif dan konsisten. Kedua hal ini pada akhirnya mengakibatkan adanya pengarah terhadap berbagai opini dan penilaian yang sesuai dengan idealisme atau pandangan para penggunanya secara jauh lebih akurat. Kecenderungan ini pada akhirnya mampu menciptakan suatu polarisasi, sebab apa yang betul menurut kita belum tentu betul secara makro (Rifasya, 2018).
Polarisasi ini kemudian mampu mengarahkan kita untuk menjadi semakin ekstrem terhadap suatu hal, sebab fliter bubble dan echo chamber akan berusaha mendekatkan kita dengan semua hal yang kita sukai secara repetitif dan konsisten serta akan menjauhkan kita dari hal-hal yang tidak kita sukai secara repetitif dan konsisten juga. Keadaan inilah yang kemudian menciptakan logika biner bagi para penggunanya, jika suka A maka tidak suka B secara mutlak.