Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Internet, Media Sosial, dan Kolonialisme Elektronik

23 April 2022   09:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:08 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran media yang semakin global pada akhirnya menimbulkan cara pandang terhadap bagaimana media berperan dalam merangkum dan memproduksi budaya serta peristiwa lewat produksi film dan berita. Proses ini selanjutnya semakin dimatangkan oleh supremasi beberapa perusahaan media layaknya, CNN, BBC, NBC, dan FOX yang saat ini menjadi media paling populer dalam membentuk konsep tertentu bagi masyarakat global mengenai peristiwa global.

Kolonialisme digital masih terus membawa semangat perbudakan dari kolonialisme zaman dahulu | longreads.org
Kolonialisme digital masih terus membawa semangat perbudakan dari kolonialisme zaman dahulu | longreads.org

Berbagai media tersebut selanjutnya juga memberikan pengaruh yang sangat besar lewat metode framing yang dilakukan yang akhirnya mempengaruhi kita dalam melihat media saat ini sebagai tabir gambar kolektif yang kita serap, kita pikirkan, dan secara halus kita bertindak serta memerankan sesuatu berdasarkan media yang sering kita jadikan sumber untuk memperoleh informasi dan berita dalam lingkup nasional maupun internasional.

Pada akhirnya teori ini berusaha mengkritisi eksistensi media-media massa elektronik barat yang menggiring kita untuk semakin menerima semua isu permasalahan global dan budaya sesuai dengan sudut pandang media massa barat itu yang di kemas dengan bahasa, etika dan nilainya. Dalam perkembangannya, electronic colonialism theory ini kemudian tidak hanya berhenti pada urusan media massa televisi saja, namun juga berkembang ke media sosial.

Menurut Holev (2020), konsep kolonialisme elektronik dalam ekosistem media sosial saat ini tak ayal mengikuti jejak semangat kolonialisme kuno, yang lekat dengan praktik-praktik marjinalisasi terhadap SARA yang kental. Prinsip dari kolonialisme elektronik itu sederhana, bagaimana caranya agar bumi, dalam konteks ini adalah masyarakat dunia bisa kembali dikotomikan atau dibagi ke dalam klasifikasi yang tegas, yakni antara penjajah dan terjajah atau antara pandai dan pandir.

Karena memiliki semangat penguasaan yang serupa dengan kolonialisme kuno, maka dalam praktiknya kolonialisme elektronik tetap akan selalu lekat dengan semangat pembagian dunia, yakni antara Timur dan Barat yang kemudian diikuti dengan agenda-agenda tertentu untuk menguasai dunia Timur yang selalu dianggap liyan dan pandir. Berbagai kenyataan ini, kemudian bisa kita temukan sendiri dalam banyak lingkup kehidupan kita hari ini.

Menurut Avila dalam Holev (2020), berbagai kenyataan itu salah satunya dapat dengan mudah ditemukan dari adanya kesenjangan infrastuktur internet antara dunia Barat dengan dunia Timur. Kesenjangan ini kemudian membuat keterbukaan dan demokratisasi informasi hanya berhenti di ruang diskusi yang stagnan dan cenderung tidak menghasilkan dampak yang berarti bagi masyarakat yang ada di dunia Timur atau Selatan global.

Padahal, kenyataannya sistem jaringan internet global justru lebih banyak digunakan dan diakses oleh masyarakat Selatan global, khususnya di benua Asia. Hal ini sesuai dengan kenyataan demografis penduduk dunia, bahwa hampir rata-rata penduduk global banyak berasal dari benua Asia dan memiliki penetrasi internet yang tinggi. Terdapat sekitar 2,77 miliar atau sekitar 53,4 persen pengguna internet di Asia dari 5,17 miliar pengguna internet dunia (Kusnandar, 2021).

Meski begitu, namun menurut studi kasus yang dilakukan oleh SES (2020), tingkat kesenjangan internet di Asia-Pasifik mencapai 1,88 miliar jiwa atau mendekati setengah dari pengguna internet di Asia. Kesenjangan ini dipicu oleh terbatasnya sistem jaringan yang mumpuni dan adanya kendala dalam segi geografis yang menyebabkan koneksi internet di beberapa negara Asia-Pasifik menjadi bermasalah dan tidak bisa bekerja secara optimal.

Mengetahui kekurangan dan kelemahan tersebut, Facebook melalui inisiatifnya di tahun 2014 meluncurkan suatu program layanan internet bernama "Free Basic" untuk memutus rantai kesenjangan internet di negara-negara Asia-Pasifik serta beberapa negara lain di luar Asia agar mampu mendapatkan akses internet ringan yang, mudah, murah, dan cepat (Holev, 2014). Meski begitu, namun program ini justru bernuansa kolonialis.

Menurut Holev (2014), program ini dinilai penuh dengan intrik kolonial dan menyiratkan adanya tindakan eksploitasi data-data pribadi pengguna. Sebab, dalam praktiknya masyarakat atau pengguna yang ingin menggunakan layanan tersebut memang tidak dikenakan biaya khusus untuk dapat mengaksesnya, namun masyarakat perlu melakukan log in melalui akun Facebook-nya masing-masing untuk dapat menikmati layanan internet gratis tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun