Selain itu, masa dewasa madya juga ditandai dengan adanya perhatian dan kebutuhan terhadap agama yang jauh lebih besar dari sebelumnya, baik secara pribadi maupun sosial. Masa dewasa madya berlaku di usia antara 40 sampai 60 tahun.
3). Masa Dewasa Lanjut (Older adult)
Masa dewasa yang terakhir berkaitan dengan masa penutup dalam rentang hidup seseorang. Dalam banyak kesempatan, masa dewasa ini sering dikenal sebagai masa manula atau lansia.
Masa dewasa ini dimulai dari umur 60 tahun sampai tutup usia, di mana adanya perubahan fisik dan psikologis yang semakin menurun, seperti perubahan motorik, emosional, saraf, dan penampilan.
Dari ketiga bagian masa dewasa menurut Hurlock (1999), fase hidup quarter life crisis terjadi di fase dewasa awal (young adult). Menurut Indrianie (2020), quarter life crisis terjadi direntang usia 20-an menuju usia 30-an awal.
Hal ini senada dengan pendapat Kim (2020), bahwa usia 20-an selalu diwarnai dengan gejolak emosi dan adanya kebimbangan dalam menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup, seperti jodoh, karir, keuangan, ekspektasi sosial dan lainnya.
Dalam perspektif masyarakat Jawa, fase quarter life crisis mewujud dalam tata cara penyebutan angka usia, di mana filosofi ini berdasarkan analisis penulis memiliki kaitan yang cukup erat dengan konsep dasar dari tahapan perkembangan dewasa awal yang dirumuskan oleh Hurlock (1999).
Menurut Setyaningrum (2022), masyarakat Jawa memiliki keunikan dalam menyebut angka-angka tertentu, seperti selikur (21); selawe (25); seket (50); dan sewidak (60).
Dalam menyebutkan angka dengan kelipatan dua puluh misalnya, masyarakat Jawa tidak menyebutnya sebagai dua puluh satu (rong puluh siji) atau dua puluh lima (rong puluh lima).
Namun, masyarakat Jawa menyebut angka-angka berkelipatan dua puluh tersebut dengan sebutan likur. Sebagai contoh, 21 disebut sebagai selikur, 22 disebut rong likur, dan seterusnya. Khusus untuk angka 25, masyarakat Jawa menyebutnya sebagai selawe.
Menurut Setyaningrum (2022), penggunaan kata likur bagi angka 21 hingga 29 (kecuali 25) merujuk pada istilah "linggih kursi" atau "duduk di kursi". Istilah ini muncul untuk menggambarkan suatu kondisi sosio-psikologi yang banyak dialami oleh anak-anak muda yang sedang beranjak dewasa, di mana mereka diharapkan masyarakat sudah duduk di 'kursi', yang merupakan profesi mereka dan tekun bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.