Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Masyarakat Jawa Mendikte Lidah Orang Belanda

10 Februari 2022   08:00 Diperbarui: 15 Mei 2022   19:51 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bale Raos, salah satu restoran milik Keraton Yogyakarta yang menyediakan makanan khas Keraton | Kompas.com

Ilustrasi suasana perniagaan di sebuah pasar | milieart.com
Ilustrasi suasana perniagaan di sebuah pasar | milieart.com

Maraknya konsumsi rempah dan beras di abad ke-19, pada dasarnya disebabkan karena dibukanya terusan Suez ditahun 1869. Di bukanya terusan itu secara tidak langsung membawa beberapa dampak, seperti terciptanya reunifikasi antara pria-pria Belanda yang hidup membujang dengan istrinya, semakin maraknya kebudayaan rijsttafel, dan semakin maraknya arus keluar masuk populasi masyarakat Eropa dari dan ke Hindia (Onghokham dalam Rahman, 2016).

Dengan adanya peristiwa ini, praktis rijsttafel pun ikut menjadi suatu hal yang populer bagi kalangan orang-orang Belanda yang sedang melancong ke Hindia. Hal itu dapat dibuktikan dari diterbitkan buku panduan yang berjudul Gids voor Reizigers (panduan bagi yang akan melakukan perjalanan). Menurut Nieuwenhuys dalam Rahman (2016: 39), buku panduan tersebut diterbitkan di tahun 1878 dan menjadi salah satu sumber informasi penting.

Buku ini secara sekilas berusaha membahas tata cara penyesuain diri bagi para pendatang yang akan ke Hindia Belanda. Dengan di bukanya terusan Suez, munculnya promosi pariwisata yang semakin giat di Eropa untuk ke Hindia Belanda, dan munculnya kembali 'gaya hidup Barat', perlahan rijsttafel pada akhirnya semakin menjadi suatu hal yang sangat ekskulisf dan bertransformasi menjadi sarana penunjukkan status.

Di satu sisi, rijsttafel yang tadinya merupakan ruang antarbudaya yang tak terlalu berjarak karena adanya perkawinan campuran, akhirnya berubah menjadi suatu gaya hidup eksklusif yang kental dengan nuansa tata cara hidang kolonial yang kolot dan kaku (Termorshuizen dalam Rahman, 2016). Tata cara hidang kolonial yang lekat dengan penggunaan pisau, sendok, garpu, dan piring menurut Lombard dalam Rahman (2016) tidak cocok dengan hidangan pribumi.

Adanya usaha pembaratan terhadap hidangan yang dipresentasikan di dalam rijsttafel sejatinya adalah suatu cara untuk menciptakan dikotomi antara penjajah dengan si terjajah dan membuat rijsttafel semakin memiliki prestise tertentu yang mana hal tersebut tidak bisa diambil oleh orang-orang pribumi. Namun, menurut Graaf dalam Rahman (2016), tindakan tersebut adalah suatu hal yang konyol, di mana pribumi ditempatkan sebagai 'unsur tambahan saja' dalam rijsttafel. 

Padahal dalam kenyataannya rijsttafel itu sangat menekankan hidangan kuliner masyarakat pribumi yang jauh lebih dominan ketimbang hidangan kuliner Belanda dalam penyajiannya. Menurut Lombard dalam Rahman (2016), penolakan bahwa rijsttafel adalah miliki pribumi tentu saja muncul, karena dalam tata cara penyajiannya etiket Eropa yang justru lebih kedepankan ketimbang makanan yang disajikan di atas meja dan disantap.

Di satu sisi, menurut Soekiman dalam Rahman (2016), Belanda berusaha mengkapitalisasi sajian makanan yang ada di dalam rijsttafel sebagai miliknya. Hal ini dikarenakan dua hal. Yang pertama Belanda dikenala sebagai negara di Eropa yang kurang memiliki budaya kuliner yang adiluhung seperti Perancis atau Italia. Kedua, hidangan pribumi yang akan rempah membuat makanan tersebut memiliki cita rasa yang eksotis sehingga membuat sangat bernilai.

Pada akhirnya, entah milik Belanda atau pribumi, toh pada kenyataan rijsttafel tetaplah sebuah makan yang bisa dinikmati oleh siapapun tanpa harus memandang suku bangsa tertentu. Urusan adanya penambahan tata cara dalam menyatap pun juga tidak terlalu berpengaruh, karena pada hakikatnya makanan lah yang sejatinya menjadi daya tawar politik bukan pada tata caranya yang terkesan kaku dan mendikotomi suatu bangsa.

Dalam sejarahnya, kita melihat bahwa Belanda sejatinya adalah negara yang jauh lebih misikin budaya kulinernya, sampai-sampai mereka ketakutan jika dianggap mengambil kekayaan intelektual Indonesia yang tersaji dalam jamuan makan yang mempesona. Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa eksotisme rasa dan hidangan rijsttafel muncul dari adanya kebiasan jamuan keraton di zaman dahulu yang menjelam dalam bentuk lain.

Maka dari itu, sudah selayaknya jika kita mempertahankan dan menjaga warisan budaya ini, agar eksistensinya semakin diakui dan semakin mendapatkan perhatian dari seluruh kalangan. Kita bisa mengklaim balik bahwa rijsttafel adalah milik kita, sebab dari situ lah lahir dan tumbuh embrio kekayaan intelektual bangsa kita dalam rupa kuliner yang sayangnya kita tidak perhatikan. Maka dari itu, ada yang ingin ikut menjaga warisan kuliner yang satu ini? Mari bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun